Sidang Tipikor Alkes RSUD Kota, Saksi: PPK Tak Survei Barang
Dua saksi dihadirkan, yakni Kepala Cabang PT Merapi Utama Sunarso dan pegawai BPK RI Siti.
Penulis: Jimmi Abraham | Editor: Didit Widodo
Ia memaparkan setidaknya ada tiga pelanggaran yang dijadikan temuan pihaknya yakni saat tahap persiapan pengadaan, tahap pemilihan penyedia, dan tahap pelaksanaan kontrak.
Baca: Ketua PKK Kalbar Minta Semua Posyandu Terus Berbenah
Di tahap persiapan pengadaan, BPK RI mengambil kesimpulan pemeriksaan bahwa pengadaan proyek ini dilakukan terburu-buru. Sebelum ditetapkan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), terdakwa Yekti Kusumawati telah membuat Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
Baca: Pemkot Pontianak Suport Posyandu Berprestasi
"Sebelum jadi PPK, terdakwa Yekti sudah membuat HPS. Kami konfirmasi, Bu Yekti mengatakan HPS didapatkan dari hasil penyalinan brosur yang didapatkan dari Kepala Dinas Kesehatan saat itu yakni dr Multi Junto Bhatarendro. Tidak logis jika satu hari saja HPS jadi, apalagi barangnya beragam dan ada 288 item. Setiap item bisa lebih dari satu unit," paparnya.
Pihaknya juga mendapatkan pengakuan bahwa brosur yang diberikan oleh Kadiskes Pontianak bersumber dari CV Kharisma Utama. PPK menjadikan brosur itu sebagai dasar pembuatan HPS terkait spesifikasi teknis.
"PPK hanya menyalin brosur PT Kharisma Utama itu dan sama persis. PPK tidak melakukan survey terhadap perusahaan penyediaan alat kesehatan. Hanya berdasarkan brosur Kepala Dinas dan tidak survey. Saat kami konfirmasi ke PT Kharisma Utama, ternyata benar brosur mereka," imbuhnya.
Baca: Menkes Puji Inovasi Posyandu Mekar Sari, Ketegori Terbaik Nasional
Saat tahapan pemilihan penyedia, Siti menambahkan prosesnya tidak berjalan sebagaimanamestinya. Di dalam dokumen pengadaan seharusnya sudah jelas bahwa ada ketentuan yang menyebutkan harus ada jaminan penawaran.
"Namun dari perusahan yang mengajukan tidak ada jaminan. Yang daftar 59 perusahaan, yang masukkan penawaran hanya tiga yakni PT Bina Karya Sarana (BKS), CV Multico dan PT Fanda. Kemudian, panitia tidak membuat kertas kerja untuk evaluasi. Kami menilai seperti ada pengaturan pemenang lelang proyek ini," timpalnya.
Pelanggaran itu berlanjut pada tahapan pelaksanaan kontrak.
Pemenang lelang yakni PT BKS tidak bisa memenuhi dan menyediakan alkes, sehingga meminta dukungan penyediaan dari perusahaan lain.
"Paling utama adalah PT Kharisma Utama yang mempunyai jaringan dan membantu PT BKS kaitannya dengan penyediaan surat dukungan," ujarnya.
Berdasarkan pemeriksaan, BPK RI juga menemukan ada tiga barang alkes yang spesifikasinya tidak sesuai kontrak kendati fungsinya sama. Namun, barang itu berfungsi baik. Ia menegaskan BPK RI tidak tahu terkait aliran dana kerugian negara itu, karena hanya mendapat mandat menghitung kerugian negara.
"Kami tidak tahu aliran dana itu kemana saja. Kami tegaskan bahwa pengadaan harus mendapatkan harga terbaik sesuai kualitas barang. Jika tidak melakukan pengadaan dengan cara benar sesuai aturan, maka perusahaan tidak layak mendapat keuntungan," terangnya.
Ketika ditanya Majelis Hakim terkait informasi lonjakan dana APBN dari Rp 19 miliar lebih menjadi Rp 35 miliar dalam proyek ini, Siti mengatakan tidak tahu menahu namun pernah medengan informasi itu.
"Kami hanya mendalami kerugian negara dalam proyek bernilai Rp 35 miliar ini. Kami tidak mendalami prosesnya bagaimana bisa melonjak dari angka sebelumnya yakni Rp 19 miliar," tandasnya.