Aswandi: Nilai UN Tak Jadi Standar Kelulusan, Semangat Kompetisi dan Belajar Siswa Menurun
Akibat dari kebijakan ini pasti ada efek lainnya, dampaknya anak-anak ini, semangat belajarnya berkurang atau menurun
Aswandi: Nilai UN Tak Jadi Standar Kelulusan, Semangat Kompetisi dan Belajar Siswa Menurun
PONTIANAK - Kebijakan mengenai nilai Ujian Nasional tidak lagi sebagai penentu kelulusan memang sudah diatur dalam Undang-undang. Nah belakangan ini nilai UN sama sekali tidak menentukan kelulusan.
Beberapa tahun dulu padahal nilai ujian ini masih menjadi bagian dari komponen penentuan kelulusan walaupun tidak 100 persen lagi.
"Akibat dari kebijakan ini pasti ada efek lainnya, dampaknya anak-anak ini, semangat belajarnya berkurang atau menurun," terang Pengamat Pendidikan Untan, Dr. Aswandi
Baca: Tim Asistensi LPTQ Kalbar Tinjau Persiapan STQ Tingkat Kalbar di Singkawang
Baca: UPT Balai Bahasa Kalbar Gelar Lomba Berbalas Pantun bagi Siswa SMA/MA/SMK Se-Kalimantan Barat
Kompetisi untuk belajar dan mendapat nilai UN yang baik juga menurun, ini sudah banyak laporan dari para tenaga pendidik maupun pegawai dinas dan realita dilapangan seperti itu.
"Saya sering ditanya oleh pegawai didinas pendidikan provinsi, ada tidak kebijakan untuk siswa yang masih semangat belajar dan memiliki motivasi tinggi mengejar nilai ujian nasional tingkat SMA ada kuota khusus masuk perguruan tinggi," tambah Aswandi.
Tapi persoalannya perguruan tinggi tidak ada menggunakan nilai ujian sebagai syarat masuk perguruan tinggi itu sendiri.
"Kita di perguruan tinggi tidak menentukan mahasiswa masuk berdasarkan hasil UN nya, tapi nilai yang dipakai adalah saat mereka tes di perguruan tinggi," imbuh Aswandi.
Inilah dampak dari kebijakan nilai UN tidak menentukan sama sekali kelulusan, anak kurang semangat dan kurang motivasinya baik SMP maupun SMA.
Walaupun nilai itu tetap diperlukan sebagai bukti bahwa anak itu telah lulus dari satu jenjang, misalnya SMP dan SMA.
Kemudian ujian nasional sering dikaitkan dengan pemetaan mutu pendidikan. Pemetaan mutu itu, kalau dari hasil kelulusannya saja saya pastikan kurang komperhensip.
"Sebab mutu pendidikan itu ada delapan standar, satu diantaranya adalah kelulusan. Berarti hanya seperdelapan saja mutu yang dilihat dari itu," jelasnya lagi.
Sehingga tidak menggambarkan secara komperhensip mengenai mutu pendidikan itu sendiri apabila hanya melihat dari nilai UN.
Kemudian, setiap tahun dilakukan pemetaan mutu dengan dilakukan UN maka itu akan membuat keborosan dan tidak ada efisiensi.
Padahal pemetaan mutu sendiri bisa dilakukan saat agreditasi sekolah. Saat pelaksanaan agreditasi sekolah delapan standar mutu dihitung semuanya.
Kemudian, standar mutu dalam pemetaan mutu pendidikan tidak harus dilakukan setahun sekali.
"Dikaitkan dengan kualitas mutu, tidak menggambarkan secara komperhensip, sebab pemetaan mutu berdasarkan hasil UN hanya satu komponen dari delapan standar mutu yang ada," tambahnya.
Kemudian tidak efisian, dimana seharusnya bisa dua tahun sekali jadi setiap tahun sekali.