DPRD Kota Pontianak

DPRD Kota Pontianak Ragukan Data Kemiskinan BPS 

Selain itu, ia menyebut kenaikan harga kebutuhan pokok dan keterbatasan lapangan kerja lebih cepat dibanding kenaikan pendapatan masyarakat. 

Penulis: Ayu Nadila | Editor: Try Juliansyah
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/Ayu Nadila
DATA KEMISKINAN - Wakil Ketua DPRD Kota Pontianak, Bebby Nailufa ragukan data kemiskinan yang bersumber dari BPS (Badan Pusat Statistik) karna pada saat dilakukan pendataan tidak melibatkan ketua lingkungan yakni RT dan RW, Kamis 28 Agustus 2025. 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Pontianak Ragukan data kemiskinan yang bersumber dari BPS (Badan Pusat Statistik) karna pada saat dilakukan pendataan tidak melibatkan ketua lingkungan yakni RT dan RW.

Pernyataan ini disampaikan oleh Wakil Ketua DPRD Kota Pontianak Bebby Nailufa, Kamis 28 Agustus 2025.

Bebby mengungkapkan alasan dirinya meragukan data BPS terkait kemiskinan Lantaran munculnya perbedaan persepsi masyarakat dengan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) terkait angka kemiskinan. 

Menurutnya, hal itu disebabkan perbedaan konsep yang digunakan dalam mengukur kemiskinan.

"BPS menggunakan konsep kemiskinan absolut, artinya masyarakat yang pengeluarannya di bawah garis kemiskinan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan, pendidikan, dan kesehatan, baru masuk kategori miskin," ujar Politisi Wanita Partai Golkar Pontianak, saat di konfirmasi tribunpontianak.co.id. via WhatsApp. 

Namun, ia menilai masyarakat cenderung melihat kemiskinan secara relatif, misalnya dari kondisi rumah, pekerjaan, hingga taraf hidup dibanding lingkungan sekitar. 

"Ketika seseorang dianggap miskin oleh warga, belum tentu terhitung miskin secara statistik BPS," jelasnya

Bebby menyoroti minimnya pelibatan RT/RW dalam pendataan sehingga angka kemiskinan BPS cenderung bersifat makro, bukan menggambarkan kondisi personal di lapangan.

Baca juga: Siswa SMAN 3 Pontianak Ungkap Perasaan Jadi Angkatan Pertama Ikut TKA 2025

Ia mencontohkan survei rumah tangga yang dilakukan BPS berpotensi tidak menangkap kondisi riil, terutama jika ada warga yang tidak terbuka mengenai pengeluaran atau tidak terdata secara langsung.

"Kasus kemiskinan ekstrem lebih mudah terlihat di lapangan sehingga menimbulkan kesan angka resmi lebih rendah dari kenyataan, karena data makro berbeda dengan fakta mikro," katanya.

Selain itu, ia menyebut kenaikan harga kebutuhan pokok dan keterbatasan lapangan kerja lebih cepat dibanding kenaikan pendapatan masyarakat. 

Kondisi tersebut membuat warga merasa beban hidup semakin berat meski secara statistik angka kemiskinan tercatat menurun.

"Kekhawatiran kita tentu adanya kejomplangan, masyarakat yang seharusnya mendapat bantuan justru tidak terdata dengan baik, sementara yang tidak berhak malah menerima. Hal seperti ini terjadi di banyak daerah di Indonesia," tegasnya.

Bebby berharap ada keterlibatan lebih besar dari RT/RW maupun pemerintah setempat dalam penyesuaian data kemiskinan agar lebih sesuai dengan kondisi nyata. (*)

- Baca Berita Terbaru Lainnya di GOOGLE NEWS
- Dapatkan Berita Viral Via Saluran WhatsApp

!!!Membaca Bagi Pikiran Seperti Olahraga Bagi Tubuh!!!

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved