TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Ketika takdir memisahkan Moyer dari harapan terbesar dalam hidupnya memiliki anak, ia memilih langkah yang menyakitkan: menceraikan istrinya demi kebahagiaan sang istri.
Keputusan itu mengubah hidupnya secara drastis, menyisakan ruang kosong yang tidak mudah diisi.
Dalam kesunyian, ia menemukan pelarian dalam ritual sun gazing menatap matahari pagi sebagai simbol harapan dan pemulihan jiwa.
Namun hidup tak berhenti di sana.
Kehadiran Aisha, seorang desainer interior, membawa angin segar ke dalam hidup Moyer yang porak-poranda.
Di saat yang sama, Maria datang dengan ketulusan yang jarang ditemukan: cinta yang menerima Moyer sepenuhnya, tanpa tuntutan.
The Sun Gazer: Cinta dari Langit bukan sekadar film drama, melainkan kisah manusia tentang cinta, kehilangan, dan keberanian untuk mencintai diri sendiri kembali.
• Panggilan dari Kubur, Ketika Kehilangan Anak Menjadi Awal Teror Emosional dan Supernatural
[Cek Berita dan informasi Sinopsis Film KLIK DISINI]
Bagaimana Film Ini Mengangkat Isu Ketidaksuburan sebagai Inti Cerita?
Ketika Takdir Menjadi Beban Emosional
Tokoh utama dalam film ini, Moyer, diperankan oleh Mario Irwinsyah, adalah seorang pria yang hidupnya terbelah karena satu kenyataan: ia tidak dapat memiliki anak.
Dalam masyarakat yang masih sangat menjunjung tinggi kehadiran keturunan sebagai ukuran keberhasilan rumah tangga, ketidaksuburan menjadi pukulan telak bagi harga dirinya.
Tak ingin menjadi penghalang bagi sang istri, Asiyah, Moyer memilih untuk bercerai demi memberikan kebebasan yang ia anggap sebagai bentuk cinta tertingginya.
Keputusan ini, yang lahir dari rasa bersalah dan kasih yang dalam, justru menyeret Moyer ke dalam jurang kesepian.
Ia kehilangan identitasnya sebagai suami dan calon ayah, sekaligus kehilangan pegangan hidup.