Ya Allah, Begini Benar Jadi Kader BPJS

Penulis: Nasaruddin
Editor: Nasaruddin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

CERITAKAN PENGALAMAN - Kader Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan Kubu Raya, Kalimantan Barat, Susi Sri Untarsih (tengah) saat bercerita pengalamannya selama menjadi kader JKN di kantor BPJS Kesehatan Kubu Raya, Jalan Arteri Supadio, Desa Arang Limbung, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Jumat 16 Mei 2025. Bagi Susi, menjadi kader JKN membuatnya punya pengalaman yang luar biasa.

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, KUBU RAYA - Bagi Susi Sri Untarsih (46), menjadi kader Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan merupakan pengalaman hidup yang luar biasa.

Menjadi kader sejak 2018, dirinya merasakan pahitnya penolakan, sulitnya kehidupan warga hingga kebahagiaan saat bisa membantu peserta.

"Mereka yang tidak mau bayar tunggakan, rata-rata memang marah-marah," kata wanita yang bertugas di Desa Arang Limbung, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat ini seraya tertawa.

Saat ditemui di kantor BPJS Kesehatan Kubu Raya, Jumat 16 Mei 2025, Susi menceritakan, satu di antara penolakan yang dirasakannya.

Baca juga: Tak Lagi Bingung, Marita Puji Kegiatan PIL BPJS Kesehatan

"Saya datang ke rumah pelanggan yang menunggak waktu itu. Awalnya saya sampaikan edukasi tentang pentingnya JKN ini," ceritanya.

Suasana saat itu berlangsung normal. 

Pemilik rumah, mendengarkan apa yang ia sampaikan.

Keadaan berubah, saat Susi menyampaikan ada tunggakan yang harus dibayarkan pemilik rumah.

"Saya malah diceramahi. Dia bilang, kalau jaminan kesehatan seperti BPJS itu dilarang agama. Tidak boleh. Dia emosi," kata Susi dengan wajah serius.

Dalam suasana tak mengenakkan itu, Susi diam. Dia hanya mendengarkan apa yang disampaikan pemilik rumah.

"Saya juga tetap menyampaikan pentingnya membayar tagihan ini," katanya.

Baca juga: CERITA Pilu Dibalik Kader JKN yang Jalani Fungsi BPJS Kesehatan, Sering Dimarah hingga Bawa Agama

Dirinya menjelaskan, tidak ada yang tahu kapan seseorang sakit. 

Jika tunggakan lunas dibayar, maka tak perlu ada biaya tambahan saat harus berobat ke rumah sakit.

"Kalau bapak bayar, lalu berobat ke rumah sakit, tidak perlu bayar denda lagi. Saya sampaikan seperti itu," ungkap Susi.

Apa yang disampaikan Susi tak membuat peserta tersebut berubah.

Bahkan, mengatakan jika sakit akan menggunakan jalur umum.

"Waktu itu saya langsung permisi pulang. Iyalah pak, ndak apa apa. Saya permisi pulang dulu. Kata saya waktu itu," cerita Susi. 

Dua minggu setelah kunjungannya, peserta yang menunggak itu berobat ke Puskesmas.

Susi yang mendapat kabar itu, datang menjenguk.

"Dia langsung minta cek jumlah tunggakan. Saya cek tunggakannya Rp 5 juta lebih, langsung dibayar," katanya.

Setelah itu, pasien tersebut juga minta tolong diantar ke rumah sakit. 

"Setelah suaminya masuk rumah sakit, istrinya juga masuk rumah sakit," katanya.

Pikiran Susi berkecamuk antara kasihan dan kesal akibat perkataan pasien tersebut sebelumnya.

Namun dirinya tetap berpikir positif dan membantu pengurusan ke rumah sakit.

"Sewaktu ditolak, saya tak pernah doakan orang itu masuk rumah sakit. Saya hanya membatin, Ya Allah begini benar (gini banget) jadi kader BPJS. Udahlah nggak ada gajinya, digitukan lagi," katanya seraya tertawa lepas.

Setelah peristiwa itu, hubungan Susi dan peserta JKN tersebut terjalin baik hingga saat ini.

Penolakan dari peserta JKN yang menunggak, bukan itu saja yang dialami Susi.

Namun, meski masih ada beberapa penolakan hingga saat ini, dirinya sudah terbiasa menghadapi. 

"Jadi kita santai," katanya.

Susi memaklumi penolakan yang dilakukan warga.

Sebab dengan dirinya datang ke rumah warga itu, tetangga tahu mereka punya tunggakan.

"Mereka ada yang malu dengan tetangga kalau kita datang, karena orang lain tahu dia menunggak bayar. Tapi kalau yang sudah kenal, dia welcome," pungkasnya.

Hal itu dibenarkan Eka Kurniawati, Kader JKN di Desa Kuala Dua, Kubu Raya.

Menurutnya, di awal-awal menjadi Kader JKN, penolakan memang sering terjadi.

Mulai dari penolakan halus, sampai yang marah-marah dan membuat jantung berdegup kencang.

Eka sendiri punya pengalaman yang tak terlupakan.

Suatu waktu, dirinya datang ke rumah peserta JKN yang menunggak berbekal data yang dikeluarkan BPJS Kesehatan Kubu Raya.

Namun ternyata peserta tersebut sudah melunasi tunggakannya.

"Kalau saya, salah sendiri. Bawa Form C tunggakan tanpa mengecek ulang. Jadi saya masuk ke satu rumah, ternyata sudah bayar," cerita Eka.

Saat datang, istri peserta JKN itu masih dalam kondisi sakit, setelah sempat mengalami kejang.

Beberapa hari sebelumnya, juga baru keluar rumah sakit karena merasa tak puas dengan pelayanan yang diberikan.

"Jadi ketika akan berobat lagi, dia diharuskan rumah sakit untuk membayar sendiri. Tak bisa lagi pakai JKN yang sudah dibayar. Padahal waktu itu dia sudah bayar tagihan Rp 4 juta lebih, tapi malah tetap harus membayar lagi karena sudah sempat memaksa pulang di pengobatan sebelumnya," kata Eka.

"Lalu di kondisi itu, saya datang menagih. Dia sudah bayar, istrinya dalam kondisi sakit, emosi dia," ungkap Eka yang juga aktif di kelompok pemberdayaan masyarakat Desa Kuala Dua.

Peserta JKN itu, kata Eka bercerita bahwa setelah masuk rumah sakit yang pertama, kondisi istrinya malah tambah parah.

"Tiga hari istrinya tak bisa apa-apa," kata Eka.

Itulah yang menjadi alasannya memaksa keluar.

Namun setelah pulang ke rumah, istri peserta JKN itu mengalami kejang.

Lalu dibawa lagi ke rumah sakit yang sama dan diharuskan membayar. 

Pihak rumah sakit menyatakan, BPJS-nya tidak bisa digunakan karena sebelumnya meminta keluar sebelum selesai pengobatan.

"Dia sudah bayar BPJS Rp 4 juta lebih. Lalu saya datang ke rumahnya. Waktu itu saya tak lihat data lagi bahwa dia sudah bayar. Dia marah ke saya. Diasahkannya parang," cerita Eka dengan wajah serius.

Eka saat itu merasa ketakutan.

Jantungnya berdegup kencang.

Sempat terfikir, apakah dirinya masih bisa pulang ke rumah atau tidak.

Namun, dirinya tak beranjak dari tempat duduk.

"Saya harus terima. Tak boleh lari. Kalau lari, saya bohong. Tetapi kalau diam, saya kena parang. Jadi saya dengarkan dulu dia marah," katanya.

"Saya tetap duduk. Lalu saya jelaskan persoalannya, kenapa BPJS-nya tidak bisa digunakan. Saat itu ada juga anaknya yang laki-laki menahan orangtuanya," paparnya.

Setelah perbincangan alot, Eka memutuskan untuk membantu membawa pasien itu berobat ke rumah sakit lain.

"Kemudian, saya bantu bawa ke rumah sakit lain dan bisa menggunakan BPJS. Karena itulah saya selamat dari parang," katanya seraya tertawa.

Saat pulang, tak jauh dari rumah itu, Eka menghentikan sebentar kendaraannya dan menarik napas panjang.

"Saya bersyukur. Alhamdulillah masih ada nyawa saya," kata Eka seraya mengelus dada.

Menurutnya, sampai saat ini, masih menemukan peserta JKN yang marah saat ditagih.

Namun, sudah tak sengeri dahulu lagi.

"Sekarang sudah senang rasanya. Kalaupun masih ada yang marah, tidak seperti dulu lagi," kata Eka.

"Handphone kita yang sekarang tak kuat. Banyak yang menghubungi. Ada yang mau bayar, ada juga yang minta gratiskan, ada yang minta dibantu ke rumah sakit," katanya.

Meski bukan tugasnya, Eka tetap membantu.

"Kalau yang kesulitan membayar karena memang kondisi ekonomi, sekarang kan ada program Rehab namanya, kita bantu mengurusnya," lanjutnya.

"Begitu juga kalau ada yang meminta diantar berobat ke rumah sakit, kita bantu," ujarnya.

Kepala BPJS Kesehatan Kubu Raya, Juliantomo mengatakan, saat ini ada empat Kader JKN yang tugas utamanya melakukan penagihan ke peserta yang nunggak.

"Tugas kader JKN sebenarnya cukup menagih pembayaran tapi dengan etika bagus sehingga ada kepercayaan masyarakat," kata Juliantomo.

Setelah komunikasi dengan warga bagus, akhirnya kader JKN memberikan layanan penuh.

"Karena warga percaya, akhirnya mereka kerja full service. Tidak hanya menagih, tapi juga membantu membawa warga ke rumah sakit," ungkap Tomo.

Pada awal-awal bekerja, beragam keluhan muncul dari kader JKN.

Namun saat ini, semua sudah paham apa yang mesti dilakukan jika menemui kendala di lapangan.

Berita Terkini