Sepakat Adakan Wewowo, Tujuh Nadi Membahas Peta Wilayah Adat Petuanan Fakfak

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

MUSYAWARAH - Tujuh Nadi Fakfak mengadakan musyawarah adat (wewowo) membahas pemetaan batas wilayah adat dan wilayah lindung petuanan. Pertemuan dilakukan selama tiga hari, dimulai 29 Agustus hingga 31 Agustus 2020 di Hotel Grand Fakfak.

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Tujuh Nadi Fakfak mengadakan musyawarah adat (wewowo) membahas pemetaan batas wilayah adat dan wilayah lindung petuanan.

Pertemuan dilakukan selama tiga hari, dimulai 29 Agustus hingga 31 Agustus 2020 di Hotel Grand Fakfak.

Kegiatan ini difasilitasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Fakfak bekerja sama dengan Yayasan Inobu dan AKAPe.

Hadir dalam pertemuan sejumlah tokoh masyarakat adat masing-masing petuanan, terdiri dari Nadi, perangkat Nadi, tetua marga, dan marga penjaga batas petuanan.

Tim Komunikasi Yayasan Inobu,
Mei Meilani mengatakan masyarakat Hukum Adat (MHA) petuanan Fakfak merupakan subjek komunal di Fakfak yang keberadaannya telah berlangsung lama.

Petuanan mewarisi sejumlah corak dan ciri khas secara turun temurun hingga saat ini.

"Ciri khas itu di antaranya kedaulatan wilayah adat, tempat/situs adat, tradisi adat, hukum adat dan struktur kelembagaan," katanya melalui rilis yang diterima tribunpontianak.co.id, Senin (31/8/2020).

PMKRI Calon Cabang Kapuas Hulu Gelar RUAC, Bupati Nasir: Tetapkan Pengurus dan Daftar Kesbangpol

Entitas adat adalah sebuah kekuatan potensial yang mampu menopang pembangunan daerah.

Partisipasi dan perannya dianggap penting dalam menjaga pembangunan yang lestari atau berkelanjutan.

Namun, secara formal, keberadaan MHA di Indonesia belum banyak diakui pemerintah.

Pasalnya, secara hukum, pengakuan MHA harus memenuhi syarat, yaitu sepanjang kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya masih hidup.

Menyikapi hal ini, diperlukan terobosan dan upaya yang sistematis pada level daerah.

Pemerintah daerah perlu didorong agar mengeluarkan kebijakan pengakuan dan perlindungan MHA di yurisdiksinya masing-masing.

Upaya ini penting agar potensi MHA sebagai elemen penting subjek pembangunan dapat direalisasikan.

Pengakuan tersebut akan memudahkan MHA untuk terlibat dalam setiap aspek pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawaan, dan evaluasi terhadap kerja-kerja yang dijalankan oleh pemerintahan.

Sejalan dengan spirit tersebut, Pemerintah Kabupaten Fakfak saat ini tengah mendorong inisiatif pemetaan Wilayah Adat Petuanan.

"Proses pemetaan partisipatif dan mandiri di masing-masing petuanan tersebut didampingi oleh Yayasan Inobu dan AKAPe," tuturnya.

Anggota Polsek Bonti Polres Sanggau Lakukan Pengecekan Titik Hotspot

Tahapannya antara lain mengidentifikasi MHA melalui penentuan batas adat, pendokumentasian profil petuanan, dan pengidentifikasian wilayah hak-hak komunal adat.

Ada sejumlah capaian yang telah dihasilkan, seperti peta indikatif petuanan, profil petuanan, dan peta wilayah konservasi adat petuanan.

Langkah selanjutnya adalah memastikan kesepakatan batas antar-petuanan guna menghasilkan peta definitif partisipatif.

Pada gilirannya, kesepakatan ini akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Fakfak untuk ditetapkan sebagai wilayah adat melalui Surat Keputusan (SK) Bupati.

Untuk menyatukan semua kegiatan yang telah dan akan dilakukan, tujuh Nadi tampil dan bersepakat untuk membahasnya dalam sebuah agenda wewowo.

Forum selama tiga hari menjadi momen penting dan bersejarah bagi masyarakat adat petuanan di Fakfak.

Sebagaimana namanya, forum ini dikemas dalam tatanan budaya adat orang Fakfak.

Segala keputusan yang diambil dalam proses ini merupakan kesepakatan adat tertinggi yang harus dihormati dan dipatuhi oleh semua pihak.

Selain itu, tahapan ini akan menentukan berjalannya dua proses berikut terkait agenda pengakuan eksistensi masyarakat adat di Kabupaten Fakfak, yakni tahapan verifikasi dan penetapan atau pengesahan. (*)

Satu Personel Polres Bengkayang Dapat Penghargaan dari Kapolda Kalbar

Berita Terkini