Citizen Reporter
Direktur Linkar Borneo, Agus Sutomo
PONTIANAK - Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, menurut Direktur Linkar Borneo, Agus Sutomo dijelaskan bahwa Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja /buruh atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan.
Maka menurutnya Pengusaha wajib memberikan THR kepada buruh/pekerja yang memiliki masa kerja satu bulan secara terus menerus atau lebih.
"Dalam Permen tersebut diatur tata cara penghitungan pembayaran THR; Pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau lebih berhak diberikan sebesar satu bulan upah, dan untuk buruh/pekerja yang memiliki masa kerja satu bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan. Masa kerja/12 bulan X Upah Pokok. Upah satu bulan sebagai mana dimaksud terdiri atas komponen: upah bersih tanpa tunjangan atau upah pokok termasuk tunjangan tetap," ujarAgus Sutomo.
Baca: Massa Mulai Bergerak Menuju Polsek Pontianak Timur
Baca: Menpora Janjikan Bonus Medali Olimpiade 2020 6 Kali Lipat dari Asian Games
Kemudian bagi pekerja/buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian lepas, menurutnya upah satu bulan dihitung dengan ketentuan yang telah ditetapkan pula.
"Pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan atau lebih, upah satu bulan berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam 12 (dua belas) bulan terakhir sebelum Hari Raya Keagamaan. Pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari 12 (dua belas) bulan, upah satu bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah diterima tiap bulan selama masa kerja," lanjutnya.
THR keagamaan ini dijabarkan olehnya harus dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum Hari Raya Keagamaan.
"Apabila Pengusaha terlambat dalam pembayaran THR Keagamaan kepada pekerja/buruh, maka akan dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari total THR Keagamaan yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar. Pengenaan denda tersebut tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk membayar THR Keagamaan kepada buruh/pekerjanya," tuturnya.
Sementara itu diakuinya berdasarkan temuan dan Fakta setiap tahun, pemerintah selalu menyampaikan bahwa pasokan bahan pangan cukup selama ramadhan. Namun faktanya di lapangan harga kebutuhan bahan pokok naik signifikan.
"Belum lagi selisih harga kebutuhan bahan pokok yang cukup besar antara kota dan kabupaten khususnya di wilayah perkebunan kelapa sawit. Kondisi ini mengakibatkan buruh harus berfikir bagaimana untuk mencukupi kebutuhannya," katanya.
Kemudian bagi buruh yang akan melakukan mudik lebaran juga terkendala dengan mahalnya biaya transportasi yang naik signifikan. Hal ini juga semakin membuat buruh harus mencari alternatif lain.
"Kondisi tersebut membuat buruh sawit sangat membutuhkan biaya tambahan yang cukup besar guna menghidupi keluarganya," katanya lagi.
Namun faktanya, menurut dia Koalisi Buruh Sawit (KBS) menemukan fakta bahwa setiap tahun terjadi perselisihan antara serikat pekerja dan perusahaan dalam konteks pembayaran Tunjangan Hari Raya(THR).
"Permasalahan yang terjadi biasanya meliputi dua hal, tidak dibayarkannya THR oleh perusahaan kepada pekerja yang berhak menerima THR, dan atau nilai THR yang dibayarkan tidak sesuai aturan ketenagakerjaan. Khususnya di perkebunan sawit, perselisihan pembayaran THR ini semakin pelik karena buruh tidak punya akses informasi yang lengkap dan benar, sehingga sering ditemukan aduan bahwa THR buruh sawit tidak dibayar atau dibayar dengan tidak layak oleh perusahaan," paparAgus Sutomo.