Berita Viral

Disekap dan Disiksa Sebulan di Kamboja, Suara Perempuan Indonesia dari Neraka Judi Online

Ia dipaksa bekerja sebagai admin judi online di bawah tekanan target yang tak manusiawi, ancaman kekerasan, dan pelecehan seksual. 

YouTube Kompas TV Sukabumi
JUDOL KAMBOJA - Foto ilustrasi hasil olah YouTube Kompas TV Sukabumi, Rabu 30 Juli 2025, memperlihatkan WNI diduga disiksa dan disekap karena jadi korban Judol Kamboja. Perempuan lainnya, Ita, selama delapan bulan, ia dipaksa bekerja sebagai admin judi online di bawah tekanan target yang tak manusiawi, ancaman kekerasan, dan pelecehan seksual. 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Ita, bukan nama sebenarnya, hanya seorang remaja lulusan SMA ketika tawaran pekerjaan bergaji besar membawanya ke Kamboja bukan ke kantor, melainkan ke jerat kekerasan. 

Selama delapan bulan, ia dipaksa bekerja sebagai admin judi online di bawah tekanan target yang tak manusiawi, ancaman kekerasan, dan pelecehan seksual. 

Ketika gagal memenuhi target, Ita disekap dalam gudang selama sebulan, hanya diberi makan dua hari sekali, dan menjadi sasaran pemukulan serta pelecehan seksual berulang. 

Video penyiksaan itu direkam dan digunakan untuk membungkamnya. 

Ia bukan satu-satunya korban; banyak perempuan Indonesia lain mengalami nasib serupa, dijerat oleh sindikat perdagangan orang berkedok pekerjaan. 

Komnas HAM mencatat perempuan lebih rentan dieksploitasi secara fisik, ekonomi, dan seksual dalam jaringan ini. 

“Saya tidak mau ada orang lain mengalami seperti saya. Di sana itu seperti neraka,” kata Ita, memutuskan berbicara demi mencegah lebih banyak korban.

Makam Kuno 2.600 Tahun di Italia Ditemukan Utuh, Ada Kisah Manusia di Baliknya

[Cek Berita dan informasi berita viral KLIK DISINI]

Bagaimana perempuan Indonesia bisa terjebak dalam jerat sindikat judi dan penipuan online?

Ita (bukan nama sebenarnya) masih mengingat ketakutan dan rasa sakit yang dia alami saat dikurung dan disiksa selama sebulan penuh di sebuah pusat judi daring di Kamboja. 

"Mereka benar-benar satu bulan penuh menyiksa saya, dari pelecehan sampai pukulan," katanya lirih.

Ita bukan satu-satunya. Ia menyebut, ada banyak perempuan lain yang mengalami kekerasan serupa. 

Mereka adalah korban dari praktik perdagangan orang terselubung yang menjanjikan pekerjaan layak di luar negeri namun berujung pada eksploitasi.

Modus penipuan berkedok lowongan kerja: Bagaimana mereka dijebak?

Tawaran manis, jebakan maut

Perjalanan Ita bermula dari tawaran pekerjaan bergaji besar dari mantan kakak kelasnya, tak lama setelah ia lulus SMA. 

Pekerjaan itu disebut-sebut berada di Bali, di bidang keuangan. 

Setelah menyerahkan dokumen pribadi dan paspor, Ita justru diberangkatkan ke Malaysia, lalu dipindahkan ke Phnom Penh, Kamboja tempat yang asing dan menakutkan baginya.

"Saya pikir akan kerja di Bali. Tapi pas sampai di Phnom Penh, baru tahu kalau saya akan jadi admin judi online," katanya. Sejak itulah, Ita menyadari dirinya dijebak oleh jaringan perdagangan orang.

Disiksa karena tidak capai target

Di tempat kerjanya, Ita harus bekerja dari pukul 8 pagi hingga 8 malam. 

Awalnya, ia masih bisa keluar dan berkomunikasi dengan keluarga. 

Tapi semua berubah ketika ia gagal memenuhi target bulanan.

Pada Maret 2024, Ita dikurung dalam gudang gelap selama sebulan.

Ia hanya diberi makan dua hari sekali, sering dipukuli, dan bahkan menjadi korban kekerasan seksual. 

Aksi tersebut direkam, dan para pelaku mengancam akan menyebarkannya jika Ita berani buka suara.

Menanti Ibu di Ambang Pintu, Kisah Dafa dan Syafa Anak Panti yang Belajar Bertumbuh dalam Rindu

Apa bentuk eksploitasi yang dialami para korban perempuan?

Dari kerja paksa hingga pelecehan seksual

Kasus Ita mencerminkan pola eksploitasi berlapis yang dialami para perempuan Indonesia di pusat judi dan penipuan online di Kamboja dan Myanmar. 

Menurut Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, bentuk eksploitasi itu mencakup fisik, ekonomi, hingga seksual.

Perempuan dipaksa melayani calon pelanggan judi secara daring, bahkan harus menanggapi pesan bernuansa seksual. 

"Kalau member-nya cabul, kita harus ngeladenin," ujar Ita.

Tidak ada perlindungan, bahkan dari sesama WNI

Korban lain, Nisa (35 tahun), juga menceritakan bagaimana sesama orang Indonesia di pusat-pusat itu sering menjadi pelaku atau membiarkan kekerasan terjadi. 

"Kalaupun mengadu juga percuma. Karena sesama orang Indonesia pun takut dan akhirnya masing-masing mikirin diri sendiri," katanya.

Nisa dibujuk oleh teman lamanya melalui Facebook, lalu berakhir di gedung kerja yang menyerupai penjara di Kamboja. 

Di sana, ia dipaksa bekerja sebagai penipu dengan menyamar sebagai layanan pelanggan. 

Ketika rekannya mencoba melawan, ia dipukuli sebagai contoh.

Mengapa perempuan lebih rentan menjadi korban perdagangan orang?

Faktor sosial dan budaya yang memperlemah posisi perempuan

Anis Hidayah menyebut bahwa banyak perempuan korban perdagangan orang memiliki latar belakang yang membuat mereka rentan: perceraian, korban KDRT, ekonomi buruk, atau putus sekolah. 

Ditambah lagi, stereotip gender dan budaya patriarki di negara asal maupun negara tujuan menempatkan perempuan sebagai objek eksploitasi.

"Perempuan dianggap lebih mudah dibohongi dan dirayu. Itu membuat mereka jadi target utama," kata Anis.

Perlindungan hukum belum menyeluruh

Meski Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah disahkan pada 2022, menurut Anis, implementasi dan penegakan hukumnya masih lemah. 

Banyak kasus mandek di tingkat penyelidikan, dan korban perempuan sering kesulitan mendapat keadilan.

Apa yang dilakukan pemerintah dan lembaga HAM untuk membantu korban?

Tantangan dalam penanganan kasus

Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, menyatakan bahwa dari 699 WNI yang dipulangkan dari Myanmar pada Februari–Maret 2025, 10 di antaranya mengaku mengalami kekerasan seksual dan fisik.

Namun, banyak korban enggan melapor karena trauma atau karena pelaku merupakan orang dekat teman, saudara, bahkan tetangga. 

"Jika tidak dilaporkan, pelaku akan terus mengulangi aksinya," ujar Judha.

Perlindungan dan pendampingan hukum

Pemerintah bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan perlindungan hukum. 

Jika pelaku berada di luar negeri, Kementerian Luar Negeri juga akan berkoordinasi dengan otoritas keamanan setempat.

Judha menegaskan bahwa pendampingan hukum akan diberikan bahkan kepada pelaku WNI untuk memastikan proses hukum berjalan adil. 

"Kami mendorong korban untuk melapor dan bersedia menjadi saksi," katanya.

Apa yang bisa kita pelajari dari kisah para penyintas ini?

Suara korban yang membuka mata

Meski dihantui rasa takut dan ancaman, Ita akhirnya memberanikan diri untuk bersuara. 

Ia ingin kisahnya menjadi pelajaran, agar tidak ada lagi perempuan Indonesia yang terjebak dalam "neraka" yang pernah ia alami.

"Di sana itu sudah seperti neraka. Orang-orangnya iblis," ujarnya.

Kisah Ita dan Nisa menggambarkan tragedi kemanusiaan yang nyata. 

Di balik layar industri judi online dan penipuan digital, ada derita perempuan-perempuan yang dijebak, ditindas, dan dilupakan. 

Mendengar suara mereka bukan hanya soal empati, tetapi juga langkah awal menuju perlindungan yang nyata dan adil.

(*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Cerita WNI Disiksa Saat Bekerja di Pusat Judol Kamboja, Seolah "Hidup di Neraka

• Baca Berita Terbaru Lainnya di GOOGLE NEWS
• Dapatkan Berita Viral Via Saluran WhatsApp
!!!Membaca Bagi Pikiran Seperti Olahraga Bagi Tubuh!!!

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved