Berita Viral

TOK! Alasan MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Resmi Dipisah, Potensi hingga Dampak Politik

Berikut alasan Mahkamah Konstitusi (MK) resmu memutuskan untuk memisahkan jadwal pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah mulai 2029.

Editor: Rizky Zulham
Tribunnews/Warta Kota
MAHKAMAN KONSTITUSI - Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat. Berikut alasan Mahkamah Konstitusi (MK) resmu memutuskan untuk memisahkan jadwal pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah mulai 2029. 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Berikut alasan Mahkamah Konstitusi (MK) resmu memutuskan untuk memisahkan jadwal pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah mulai 2029.

Perubahan ini mengakhiri praktik pemilu serentak yang diberlakukan sejak 2019, ketika warga harus mencoblos lima surat suara dalam satu hari untuk calon presiden, DPR, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Berdasarkan putusan MK, pemilu nasional ke depan hanya akan mencakup pemilihan presiden/wakil presiden, anggota DPR, dan anggota DPD. 

Sementara, pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota akan digelar bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) paling lambat dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden dan anggota DPR/DPD.

Resmi Berubah Tarif Listrik PLN Terbaru Periode Juli Sampai September 2025 Semua Golongan Pelanggan

Pemilu nasional dan daerah dipisah ringankan petugas

Pengamat politik Universitas Diponegoro, Nur Hidayat Sardini menilai, putusan MK untuk memisahkan waktu pemilu legislatif dan pilkada memberikan angin segar bagi para penyelenggara pemilu di lapangan, khususnya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Ia menyoroti pengalaman pahit Pemilu 2019, yang menyebabkan hampir 800 petugas pemilu meninggal dunia akibat kelelahan kerja. 

"Itu bukti nyata bahwa penyelenggaraan pemilu serentak dalam satu waktu menimbulkan beban kerja yang sangat berat," ujarnya kepada Kompas.com, Minggu (29/6/2025).

Meski pada Pemilu 2024 jumlah korban menurun, Sardini menilai tekanan pada badan ad-hoc tetap besar. 

Oleh karena itu, putusan MK yang memungkinkan adanya jeda antara pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah dinilai mampu mengurangi tekanan tersebut dan memberi ruang konsentrasi yang lebih baik bagi para petugas.

Jeda waktu penting untuk kualitas demokrasi

Selain pertimbangan teknis, ia juga menilai bahwa pemisahan waktu antara pemilu nasional dan pilkada memiliki nilai strategis dalam menjaga kualitas demokrasi.

Menurutnya, pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden yang berdekatan dengan pilkada pada tahun yang sama berisiko membuat pemilih kehilangan fokus terhadap tujuan masing-masing pemilihan. 

“Konsentrasi publik terhadap makna dan tujuan pemilu bisa buyar ketika dalam tahun yang sama, mereka dihadapkan pada pemilu legislatif, presiden, dan kemudian pilkada,” jelasnya.

Dengan adanya jeda sekitar dua hingga dua setengah tahun antara keduanya, masyarakat akan memiliki waktu cukup untuk memulihkan perhatian dan kembali fokus pada agenda politik lokal.

Putusan MK belum menyentuh akar masalah elektoral

Kendati demikian, Sardini menilai bahwa keputusan ini belum menjawab persoalan mendasar dalam sistem pemilu Indonesia.

Ia menyayangkan bahwa problem akut seperti praktik politik uang, dinasti politik, dan korupsi elektoral belum disentuh dalam putusan tersebut.

“Putusan MK ini belum menyentuh akar penyakit pemilu kita, seperti politik uang dan dominasi oligarki yang merusak integritas demokrasi,” tegasnya.

Sardini berharap, pembentukan undang-undang yang lebih progresif dibutuhkan untuk mengatur hal-hal krusial seperti keterlibatan aparat penegak hukum dalam pemilu, serta penguatan sistem check and balance pada antara lembaga negara.

“Kita butuh undang-undang yang bisa memperkuat kemurnian suara rakyat dan melindungi pemilu dari intimidasi serta politisasi bansos,” tutupnya.

Momentum Revisi UU Pemilu

Sementara itu, pengamat politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan pilkada harus dimaknai sebagai dorongan kuat untuk segera merevisi Undang-Undang Pemilu.

Meski putusan MK bersifat mengikat secara hukum, tindak lanjut berupa revisi regulasi belum juga tampak konkret.

“Sudah banyak desakan dari berbagai pihak agar Undang-Undang Pemilu dibahas ulang, tapi sampai sekarang belum terlihat langkah nyata,” ujarnya saat dihubungi secara terpisah, Minggu (29/6/2025).

Menurutnya, akumulasi putusan-putusan MK yang berkaitan dengan sistem pemilu, serta wacana perubahan sistem pemilu seharusnya bisa menjadi titik awal bagi pemerintah untuk mengambil peran lebih aktif, bahkan jika perlu memimpin langsung proses revisi undang-undang.

"Jadi kalau saya sih merasa bahwa ini sudah saatnya pemerintah mengambil peran yang signifikan atau bahkan kalau perlu mengambil alih bagaimana pembahasan Undang-Undang Pemilu ini agar segera dilakukan," ucapnya.

Sistem pemilu tak saklek, harus disesuaikan kebutuhan

Lebih lanjut, Aditya mengingatkan bahwa tidak ada sistem pemilu yang sepenuhnya baku dan tak bisa diubah.  Baik sistem serentak maupun terpisah, semuanya memiliki konsekuensi masing-masing.  Karena itu, ia menyarankan agar evaluasi dilakukan secara menyeluruh dan terbuka.

“Pemerintah, partai politik, hingga penyelenggara pemilu sebetulnya sudah memahami konsekuensi dari tiap pilihan sistem,” ungkapnya.

Ia mencontohkan bagaimana pemilu serentak pada 2019 dan 2024 membawa beban kerja berat bagi petugas di lapangan dan menyulitkan partai dalam menjaring kader untuk berbagai tingkatan kontestasi.

Aditya menambahkan, perubahan sistem yang memisahkan pemilu nasional dan pilkada bisa menjadi opsi yang rasional, mengingat tantangan besar dalam penyelenggaraan pemilu serentak sebelumnya.

 “Tidak masalah bila kembali ke skema terpisah antara pemilu pusat dan daerah, karena sistem pemilu seharusnya bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan dinamika politik yang ada,” katanya.

Risiko masa jeda dua tahun

Dari sisi politik dan hukum, pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah dengan jeda waktu hingga dua tahun menimbulkan kekhawatiran tersendiri.

Salah satunya adalah potensi dominasi kekuasaan pusat terhadap dinamika politik lokal, terutama jika partai pemenang pemilu nasional juga menguasai pengambilan keputusan di daerah.

"Nah ini yang jadi problem, dasar hukumnya itu kan tetap harus kuat. Makanya undang-undang ini harus ada, itu direvisi meskipun masih jeda," jelas Aditya.

Pasalnya, jeda waktu yang panjang itu (dua tahun) membuka ruang intervensi politik, terutama dalam penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah oleh pemerintah pusat.

Hal ini dinilai rawan kepentingan, terlebih jika belum ada revisi menyeluruh terhadap Undang-Undang Pemilu yang menjadi dasar hukum pelaksanaan skema pemilu yang baru.

"Hitung-hitungan secara politik pasti ada. Tentu akan melihat konstelasinya tergantung dari hasil pemilu presiden 2029 misalnya," ujarnya.

Potensi pembentukan poros politik baru

Aditya juga menilai, situasi politik di Indonesia yang dinamis juga menjadi faktor untuk memperkuat potensi perubahan arah kekuasaan di tingkat lokal.

Menurutnya, dalam masa jeda dua tahun itu, partai-partai politik cenderung fleksibel dan bisa berpindah haluan mengikuti kekuatan yang dominan. 

"Misalnya, jika pak Prabowo terpilih kembali pada 2029, maka potensi arah politik akan berubah signifikan setelah masa jabatannya berakhir. Jadi ada peluang terbentuknya poros-poros baru," tandasnya.

RESMI Aturan Tilang Kendaraan Terbaru 1 Juli 2025 Kini Tanpa Razia Jalanan, Lengkap Sanksi dan Denda

Kekosongan jabatan harus dipikirkan

Selain itu, menurut Aditya, muncul pula pertanyaan soal nasib anggota DPRD provinsi maupun kabupaten/kota selama masa jeda tersebut. 

Jika Pilkada dan pemilihan anggota DPRD dilangsungkan dua tahun setelah pemilu nasional, akan ada kekosongan jabatan yang harus diisi oleh penjabat, baik di tingkat gubernur, bupati, maupun wali kota. 

"Nah kondisi ini pasti akan menimbulkan dilema," ujarnya. Oleh karena itu, Aditya menekankan pentingnya pembahasan revisi UU Pemilu sebagai langkah krusial agar perubahan desain pemilu ini tidak justru menimbulkan masalah baru dalam praktik demokrasi ke depan.

# Berita Viral

- Baca Berita Terbaru Lainnya di GOOGLE NEWS
- Dapatkan Berita Viral Via Saluran WhatsApp

!!!Membaca Bagi Pikiran Seperti Olahraga Bagi Tubuh!!!

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved