Dibalik Simbol dan Makna Bundaran 1001 AI, Warisan Awang Ishak untuk Kota Singkawang

"Waktu itu banyak kejadian kecelakaan, terutama anak sekolah yang sering jadi korban. Saya langsung hubungi Dinas PU, Pak Asir, saya minta agar dibang

Penulis: Widad Ardina | Editor: Rivaldi Ade Musliadi
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/WIDAD ARDINA
BUNDARAN 1001 SINGKAWANG - Bundaran 1001 AI yang berada di Jalan Tani, Kelurahan Sedau, Singkawang Selatan yang juga menjadi salah satu ikon visual yang paling dikenali di Singkawang. 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SINGKAWANG - Bundaran 1001 AI yang berdiri megah di salah satu titik strategis Kota Singkawang bukan sekadar ikon kota, melainkan juga warisan penuh filosofi dari masa kepemimpinan Wali Kota Awang Ishak periode 2002-2007 dan 2012-2017.

Dibangun pada periode 2015 dan diresmikan sekitar tahun 2016, bundaran ini lahir dari kebutuhan akan keselamatan, keindahan, dan nilai kebersamaan masyarakat kota.

Menurut Awang Ishak, ide pembangunan bundaran ini berawal dari tingginya angka kecelakaan di kawasan tersebut.

"Waktu itu banyak kejadian kecelakaan, terutama anak sekolah yang sering jadi korban. Saya langsung hubungi Dinas PU, Pak Asir, saya minta agar dibangun bundaran di situ sebagai langkah pencegahan," ungkap Awang saat diwawancarai tribunpontianak.co.id.

Namun, tak hanya berfungsi sebagai pengatur lalu lintas, desain bundaran 1001 AI juga sarat makna budaya dan sosial. 

Satlantas Polres Singkawang Sosialisasikan Rencana Penertiban Angkutan Over Kapasitas

Awalnya, Awang terinspirasi dari kunjungannya ke Paris, yang kemudian dikaitkan dengan julukan “Paris Pan Borneo” untuk Singkawang. Dari situlah muncul ide mengadopsi unsur-unsur estetika Eropa dengan nuansa lokal.

Simbol utama bundaran adalah payung besar, yang menurut Awang melambangkan perlindungan dari pemerintah terhadap warganya. 

“Siapapun yang jadi wali kota, harus bisa melindungi rakyatnya. Maknanya payung itu adalah pemerintahan yang mengayomi,” jelasnya.

Selain payung, terdapat juga tampah atau nampan besar di bagian tengah bundaran. Menurutnya payung tersebut merepresentasikan budaya saprahan tradisi makan bersama dalam masyarakat Melayu yang melambangkan rezeki dan kebersamaan.

Pada bagian patung yang berdiri di bawah payung, tergambarkan tiga tokoh representatif dari etnis tertua di Singkawang, yakni Dayak, Melayu, dan Tionghoa. 

Namun sebenarnya, menurut Awang, desain awalnya belum selesai. Di bagian bawah patung, terdapat piring besar yang sejatinya akan diisi setengah badan dari perwakilan etnis lainnya seperti Batak, Bugis, Madura, India, hingga Timor sebagai simbol bahwa semua etnis hidup berdampingan dan mencari nafkah bersama di bawah naungan satu pemerintahan kota.

“Sayangnya, sampai sekarang belum dilanjutkan. Padahal sudah dirancang untuk menampilkan 15 etnis. Supaya semua merasa diakui dan dihargai,” tambahnya.

Simbol lain yang tak kalah penting adalah patung angsa, yang ditempatkan sebagai penjaga rumah. 

“Angsa itu penjaga rumah. Dulu kalau tidak ada anjing, orang pelihara angsa. Maknanya, warga Singkawang harus menjaga rumahnya, kotanya, jangan jadi pencopet atau pencuri,” ujar Awang.

Tak lupa, ia juga menambahkan ornamen laut yang menghiasi bundaran, seperti kuda laut atau binatang laut lainnya, melambangkan asal-usul Kota Singkawang yang merupakan pecahan dari Kabupaten Sambas.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved