Stoicism Sebagai Jalan Menuju Ketenangan Jiwa dalam Lensa Spiritual, Sains dan Kehidupan Sosial

Stoicism, atau Stoikisme, adalah sebuah aliran filsafat yang muncul di Yunani kuno pada abad ke-3 SM, yang dikembangkan oleh filsuf seperti Zeno

Editor: Dhita Mutiasari
Istimewa
Prof. Drs. Sentot Budi Rahardjo, Ph.D, S3 Pendidikan IPA Universitas Sebelas Maret Surakarta. 

Citizen Reporter : 

Rindah Permatasari, M.Pd

Prof. Drs. Sentot Budi Rahardjo, Ph.D.

S3 Pendidikan IPA

Universitas Sebelas Maret Surakarta

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada berbagai masalah yang tampak tak ada habisnya. Tekanan pekerjaan yang meningkat, tuntutan sosial yang tinggi, kecemasan pada kondisi ekonomi hingga perubahan teknologi yang cepat membuat kita merasa tidak dapat mengendalikan banyak aspek dalam hidup kita. Dalam situasi seperti ini, banyak orang merasa terperangkap dalam perasaan tidak puas dan frustrasi. 

Bayangkan hidup tanpa ketergantungan pada kekayaan, status, atau hal-hal eksternal lainnya, itulah inti dari Stoicism, sebuah filosofi yang mengajarkan kita untuk menemukan kebahagiaan dalam kendali atas diri sendiri.

Stoicism, atau Stoikisme, adalah sebuah aliran filsafat yang muncul di Yunani kuno pada abad ke-3 SM, yang dikembangkan oleh filsuf seperti Zeno dari Citium, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Stoikisme menekankan pentingnya kebajikan, pengendalian diri, penerimaan dan bahwa kebahagiaan sejati tidak bergantung pada faktor eksternal seperti kekayaan atau status sosial, melainkan pada pengendalian terhadap emosi dan reaksi seseorang terhadap peristiwa-peristiwa dalam hidup (Inwood, B, 2018). 

Pentingnya Edupreneurship, Bangun Minat dan Kreativitas Pelajar dalam Berwirausaha

Rindah Permatasari, M.Pd S3 Pendidikan IPA Universitas Sebelas Maret Surakarta
Rindah Permatasari, M.Pd S3 Pendidikan IPA Universitas Sebelas Maret Surakarta

Secara spiritual, Stoicism mengajarkan manusia untuk hidup sesuai dengan logos atau tatanan universal yang serupa dengan konsep Tuhan dalam agama monoteistik. Dalam Islam, komsep penerimaan sejalan dengan konsep tawakkal, yaitu menyerahkan segala hasil kepada Allah setelah berusaha. Contoh relevansi ini dapat ditemukan dalam QS. Al-Baqarah ayat 286 berbunyi "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya...", Ayat ini mengajarkan penerimaan manusia terhadap takdir Allah, Allah memahami batas kemampuan setiap hamba-Nya, dan tidak akan memberikan cobaan, tanggung jawab, atau beban yang melampaui kekuatan mereka. Ayat lain dalam Al-Quran selarasa dengan konsep Stoicism, mengajarkan tentang ketenangan yaitu QS. Ar-Ra’d  ayat 28: "Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."  Dengan memandang segala hal sebagai bagian dari rencana yang lebih besar, seseorang dapat menghadapi kesulitan hidup dengan ketenangan dan rasa syukur.

Dari sudut pandang Sains, Stoicism memberikan pendekatan yang mendukung keseimbangan fisiologis dan kesehatan mental. Prinsip Stoicism, seperti menerima kenyataan dan tidak bereaksi berlebihan terhadap situasi, berkaitan langsung dengan bagaimana otak dan sistem saraf kita merespons stres. Saat stress terjadi interaksi antara hormon, sinyal saraf, dan struktur otak tertentu. Ketika tubuh menghadapi stres, Amigdala pada otak mengirimkan sinyal ke hipotalamus, yang kemudian mengaktifkan sistem saraf simpatik untuk memulai respons "fight-or-flight" (lawan atau kabur). 

Hipotalamus merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon adrenalin dan norepinefrin, yang meningkatkan detak jantung, tekanan darah, dan pernapasan. Ini membantu tubuh siap menghadapi ancaman fisik atau mental​. Stres berkepanjangan dapat merusak struktur otak. Kadar kortisol yang tinggi dapat menyusutkan korteks prefrontal, yang memengaruhi fungsi kognitif seperti memori dan pengambilan keputusan.

Sebaliknya, amigdala dapat membesar, membuat individu lebih rentan terhadap stress. Strategi seperti meditasi, olahraga, dan tidur cukup dapat membantu otak mengelola stres secara lebih efektif dengan mengurangi aktivitas amigdala dan meningkatkan kemampuan korteks prefrontal​.

 Stoicism melatih kemampuan untuk menenangkan diri melalui rasionalitas, yang melibatkan penggunaan korteks prefrontal, bagian otak yang mengontrol pemikiran logis dan pengambilan keputusan. Dengan melatih kontrol diri, seseorang dapat meredam respons emosional dari sistem limbik (seperti amygdala, yang memicu reaksi stres atau marah). 

Stoicism sebagai filosofi hidup, memiliki kaitan yang kuat dengan pengendalian stress terutama dalam Regulasi Emosi Melalui Rasionalitas. Dalam konteks neurosains, Rasionalitas memperkuat korteks prefrontal, yang berfungsi menekan respons emosional berlebihan dari amigdala, pusat stres dan emosi dalam otak. Filosofi Stoicism mendorong penerapan teknik seperti refleksi diri, meditasi, dan mindfulness, yang terbukti secara ilmiah dapat menenangkan sistem saraf simpatik dan mengaktifkan sistem saraf parasimpatik dan mengembalikan tubuh ke kondisi homeostasis. 

Stoicism dalam Lensa Kehidupan Sosial bermanfaat dalam meningkatkan hubungan social, memperbaiki hubungan antarmanusia, mendukung keharmonisan dalam masyarakat, dan memberikan landasan etis untuk membangun lingkungan sosial yang lebih stabil dan damai. 

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved