Larang Tayangan Investigasi? Berikut Alasan Pemerintah dan DPR Kompak Bahas Revisi UU Penyiaran
Dalam draf rancangan RUU Penyiaran yang banyak beredar di intenet ada pasal 56 ayat 2 poin c. Isinya melarang penayangan eksklusif jurnalistik investi
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Ramai diberitakan di tanah air tentang Rancangan Undang-Undangan Penyiaran.
Berdasarkan informasi yang tersebar di khalayak.
Di dalam Draft tersebut terdapat pasal yang melarang penanyangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Dalam draf rancangan RUU Penyiaran yang banyak beredar di intenet ada pasal 56 ayat 2 poin c. Isinya melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Kendati demikian, hingga saat ini belum diketahui apakah draft tersebut merupakan bahan yang kini di bahas di DPR RI.
• Polisi di Singkawang Hadir di Daerah Ramai Kendaraan untuk Wujudkan Kamseltibcarlantas
Anggota Komisi I DPR RI, Dave Laksono mengatakan pihaknya tak berniat memberangus kebebasan menyampaikan informasi kepada masyarakat.
Pernyataan ini merespons kritikan terhadap Rancangan Undang-undang atau RUU Penyiaran yang dianggap memberangus kebebasan pers.
Sebab, memuat beberapa pasal yang berpolemik, salah satunya larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi sebagaimana yang dimuat pada Pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran.
Dave menegaskan baik Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan nantinya Prabowo Subianto serta DPR tak berniat memberangus kebebasan pers.
"Tidak ada sedikit pun dari Pemerintahan Jokowi ataupun pemerintahan nantinya Presiden Prabowo dan DPR akan memberangus hak-hak masyarakat dan kebebasan berpendapat apalagi informasi kepada masyarakat," kata Dave kepada wartawan, Senin 13 Mei 2024.
Menurutnya, informasi harus disampaikan secara tepat dan pemberitaan berlangsung dengan transparan dan akuntabel.
"Justru media harus mengawal setiap kebijakan pemerintah agar tepat sasaran dan tidak ada penyelewengan sedikit pun yang menjadi hak milik rakyat dan juga bangsa secara keseluruhan," ujarnya.
Dave menjelaskan seluruh masukan masyarakat mengenai RUU Penyiaran akan menjadi pertimbangan DPR.
• KPID Kalbar Berharap Perda Dapat Mengeluarkan Peraturan Regulasi Lokal Dalam Penyiaran Daerah
"Nah, apa yang menjadi ketakutan rekan-rekan ini akan menjadi masukan sehingga kita bisa menyempurnakan UU ini dan bisa melayani dan melindungi masyarakat secara umum," ucapnya.
Sebagaimana diketahui bahwa Komisi I DPR RI tengah menggodok Rancangan Undang-undang (UU) tentang Perubahan atas UU No 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran. Dalam draft RUU Penyiaran 2 Oktober 2023.
Artinya, RUU ini tidak hanya akan mengatur tentang penyiaran konvensional saja, seperti televisi dan radio, melainkan mencakup platform digital.
Dengan tambahan cakupan wilayah penyiaran ini, kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga akan diperluas.
Konten Netflix dan Layanan Sejenis Itu artinya, seluruh platform digital, baik platform streaming, layanan over the top (OTT) seperti Netflix, Amazon Prime, Disney+Hotstar, dan sebagainya, akan diawasi oleh KPI dan harus tunduk pada UU Penyiaran terbaru apabila sudah disahkan.
Awasi Selain perluasan cakupan penyiaran, RUU ini juga akan fokus mengatur soal isi dan konten siaran. Hal tersebut dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Al Masyhari.
"Apa isu sentralnya? Ya, isi siaran. Isi siaran adalah tentunya akan menyangkut peraturan terhadap seluruh bentuk siaran, baik menggunakan media apa pun," kata Abdul Kharis, sebagaimana dikutip KompasTekno.
Ia menambahkan bahwa revisi UU Penyiaran ini akan berisi aturan yang memperlakukan seluruh isi dan konten siaran dari berbagai macam media, baik konvensional maupun digital, akan sama di mata hukum.
"Baik live streaming maupun rekaman, podcast dan sebagainya itu menjadi satu sama dengan isi siaran TV, yang TV walaupun digital pun itu bisa di akses tidak hanya pada saat siaran itu tayang. Jadi statusnya relatif sama," imbuh Abdul.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono mengatakan revisi UU Penyiaran ini penting lantaran selama ini, belum ada regulasi soal isi siaran layanan media streaming digital.
Sebab, menurutnya, banyak konten yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut bangsa Indonesia.
"Nah, ini semua pengaturannya tidak ada, baik apakah itu sensornya ataupun juga pelayanan kontennya,
"karena sebenarnya ini penting pemerintah itu harus memiliki otoritas kedaulatan terhadap pelayanannya itu," kata Dave.
Revisi UU Penyiaran juga didukung KPI. Komisioner KPI Pusat Mimah Susanti mengatakan, pengawasan atas media digital penting dan harus diatur sebagaimana media penyiaran konvensional.
Ia berharap, RUU ini bisa segera disahkan untuk mendukung iklim penyiaran Indonesia yang sehat.
"Melindungi masyarakat dari serangan konten-konten media digital internet yang punya potensi merusak karakter jati diri warna dan masa depan generasi muda Indonesia," ujar Mimah. (*)
Ikuti saluran Tribun Pontianak di WhatsApp: KLIK DISINI
Cek Berita dan Artikel Mudah Diakses di Google News
Gaji Mulan Jameela Jadi Sorotan Saat Tampil Mewah di HUT ke-80 RI |
![]() |
---|
Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta, Perbulan Terima Total Rp 100 Juta |
![]() |
---|
Astra Motor Kalbar turut dukung Pelatihan Jurnalistik |
![]() |
---|
Sinopsis Film Untold 2025, Rasa Bersalah Bisa Menjadi Teror yang Nyata |
![]() |
---|
Koalisi Masyarakat Adat Desak Pemerintah Pusat Mengesahkan RUU Masyarakat Adat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.