Tak Bisa Melaut Karena BBM Mahal dan Langka, Desa Nelayan Sepuk Laut Kalbar Serasa Mati Suri
Desa Nelayan Sepuk Laut sendiri berjarak puluhan kilometer dari daratan utama Kecamatan Sungai Kakap yang dipisahkan muara.
Penulis: Ferryanto | Editor: Hamdan Darsani
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Akibat sulitnya mendapatkan BBM (bahan bakar minyak) dan tingginya harga, Ratusan Nelayan di Desa Nelayan Sepuk Laut, Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat sudah beberapa pekan terakhir tidak melaut dan Desa serasa Mati Suri.
Desa Nelayan Sepuk Laut sendiri berjarak puluhan kilometer dari daratan utama Kecamatan Sungai Kakap yang dipisahkan muara.
Tidak ada akses lain menuju Desa Nelayan tersebut selain menggunakan transportasi air, karena sepuk laut pulau tersendiri.
• Penjelasan Soal Lebih Irit BBM Jenis Pertalite atau Pertamax
Dibutuhkan waktu lebih dari 1 jam untuk tiba di desa itu dari pelabuhan Sungai kakap, Kabupaten Kubu Raya menggunakan kapal motor.
Desa Nelayan Sepok Laut dihuni oleh sekira 800 KK yang tersebar di 3 Dusun, dan mayoritas masyarakat berprofesi sebagai nelayan harian, yang mencari hasil laut diperairan pesisir dibawah 10 Mil.
Mereka berangkat pagi dan pulang petang, hasil tangkapan nelayan Sepuk Laut yakni berbagai jenis udang, ikan kecil dan sotong.
Warga Desa Sepuk laut tinggal ditepian aliran sungai, rumah - rumah dibangun diatas air, dengan setiap rumah memiliki dermaganya sendiri untuk menambatkan kapal ikan mereka.
Di Desa ini, listrik PLN sudah masuk, namun listrik hanya hidup mulai pukul 17.00 hingga pukul 06.00 pagi.
Di desa ini tidak ada terlihat sepeda motor atau mobil, untuk akses transportasi hanya dilakukan menggunakan transportasi air, atupun berjalan kaki.
Kapal nelayan di desa Sepok Laut tidaklah berukuran besar, ukuran kapal - kapal nelayan tradisional sepok laut berkisar panjang 5-8 meter dengan lebar 2 -3 meter bermesin Dompeng berbahan bakar solar yang diawaki 2-3 orang saja, ada pula nelayan yang menggunakan Perahu mesin yang berbahan bakar pertalite.
Akibat langka dan mahalnya BBM, Ratusan Kapal Nelayan Tradisional di Desa itupun terpaksa menambatkan kapalnya sejak beberapa pekan lalu hingga saat ini.
Saat Tribun Pontianak menelusuri Desa tersebut pada Minggu 25 September 2022, ratusan kapal nelayan berukuran kecil hanya bersandar di steher di depan rumah para nelayan.
Tidak ada aktivitas pekerjaan dari warga selain berdiam diri di rumah dan bercengkrama dengan keluarga.
Bila normal, setiap harinya para istri membuat berbagai ikan asin atau olahan ikan dari tangkapan suami yang melaut.
Namun aktivitas itu tidak terjadi dalam beberapa pekan ini, desa seperti mati suri, tidak ada aktivitas tentang nelayan yang pergi dan pulang menangkap ikan.
Juga tidak terlihat banyak kesibukan kaum ibu yang mengolah hasil tangkapan ikan seperti biasanya, hanya ada satu ibu yang terlihat menjemur hasil laut berupa ikan kecil, yang menurut warga itu merupakan hasil tangkapan beberapa waktu lalu yang diolah menjadi ikan asin.
Di kapal - kapal yang ditambatkan, terlihat jaring - jaring penangkap ikan hanya disimpan diatas kapal, kondisinya telah kering bahkan kaku, Kotak - kotak es tempat menyimpan ikan pun kosong.
Bahkan, Aroma khas ikan tidak tercium di kapal - kapal yang ditambatkan seperti kebanyakan kapal nelayan pada umumnya, hal itu menandakan sudah cukup lama kapal - kapal itu tidak digunakan menangkap ikan.
Bahtiar Agani (42) nelayan Harian di Desa Sepuk Laut mengungkapkan bahwa setelah pemerintah menaikan harga BBM, dirinya nelayan di Desa Sepok laut susah mendapatkan BBM hingga akhirnya tidak melaut.
"Semenjak BBM naik ini, kami kesusahan, harganya sekarang terlalu tinggi, sebelumnya kan sampai di desa ini BBM 10 ribuan, Tapi sekarang 14 ribu sampai 15 ribu," ungkapnya.
Dalam sekali melaut pergi pagi dan pulang malam, ia membutuhkan sekira 35 sampai 40 liter solar.
Dengan harga mencapai 14 ribu per liter di Desanya saat ini, hasil tangkapan tidak dapat memenuhi biaya operasional yang ada.
"Sehari pendapatan kami melaut sekira 500 ribu sampai enam ratus tujuh ratus, Karena kamikan nelayan harian, ikan - ikan kecil udang dapatnya, dengan harga BBM sekarang, rugi kalau melaut,"katanya.
Selama ini Dirinya menceritakan seluruh nelayan di desanya memperoleh BBM dari pengecer, karena nelayan di Desa Sepok Laut tidak mendapatkan alokasi BBM langsung dari SPBN.
Sebelum harga BBM naik seperti saat ini, harga solar masih berkisar 9 ribu hingga 10 ribu hingga ke Desa Sepok Laut namun saat ini harga mencapai 15 ribu.
Dengan harga perliter Solar mencapai 15 ribu rupiah, dirinya yang sudah dua puluh tahun menjadi nelayan pun enggan melaut karena biaya yang dibutuhkan sangat besar, sementara hasil penjualan tangkapan belum ada peningkatan.
"Harapan kami hanya meminta bantuan dari pemerintah supaya kami bisa dapat minyak dengan harga wajar dan mudah dapatnya, kalau sekarang kan tidak ada sub penyalur di desa ini, jadi kami mengambil dari eceran, dan harganya tinggi sekali sekarang," tuturnya.
Hal senada si disampaikan Zainal (47) yang juga nelayan harian mengatakan bahwa dirinya sudah dua pekan tidak melaut karena minyak mahal dan sulit didapat.
"Selama dua Minggu ini nunggu saja saya dirumah, simpanan yang ada saja yang dibuat makan, mau melaut tapi kalau teman - teman hilang masih belum ada hasil ya nunggu dulu,"ungkapnya yang sudah menjadi nelayan sejak beranjak dewasa lalu. (*)
Cek Berita dan Artikel Mudah Diakses di Google News