Pemerintah Cabut HET Minyak Goreng, Pengamat Ekonomi Untan Eddy Suratman Sebut Keputusan Tepat
“Kemudian kita juga mesti ingat bahwa investor untuk perkebunan sawit kita yang sedemikian luas itu sudah didominasi oleh orang asing. Sehingga pemeri
Penulis: Anggita Putri | Editor: Rivaldi Ade Musliadi
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Pengamat Ekonomi Untan, Eddy Suratman mengatakan sejak awal adanya kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk minyak goreng (Migor) tidak tepat karena kalau melihat perkembangan harga CPO sedang cenderung naik.
Berarti dikatakannya kalau menghitung biaya produksi migor dengan harga CPO yang sedang tinggi. Maka biaya produksi akan relatif lebih tinggi.
“Saya khawatir ketika kebijakan HET migor ditetapkan pemerintah jangan-jangan HET itu dibawah sedikit dari biaya produksi. Artinya produsen migor sebetulnya sangat terganggu dengan HET tersebut,”ujarnya kepada Tribun Pontianak, Kamis 17 Maret 2022.
Dikatakannya yang namanya perusahaan tentu ingin mencari untung. Kalau dengan HET itu mereka akan rugi, akibatnya mereka menunda produksi dan mengurangi karena mereka akan rugi.
Lalu yang kedua mereka berproduksi, tetapi dijual keluar negeri, itulah yang dikawatirkan dan kelihatannya itulah yang terjadi.
Akibatnya barang menjadi langka dipasar dan harga menjadi naik tidak karuan, karena barang yang langka.
“Kemudian kita juga mesti ingat bahwa investor untuk perkebunan sawit kita yang sedemikian luas itu sudah didominasi oleh orang asing. Sehingga pemerintah juga susah untuk mengendalikan, siapa yang bisa memaksa mereka untuk tidak menjual CPO keluar,”tegasnya.
Dengan demikian kebijakan untuk mencabut HET migor tersebut ditegaskannya sudah sangat tepat, malah terlambat. Seharusnya sudah dilakukan sejak dulu.
Tetapi tentu kebijakan ini konsekuensinya adalah harga migor kemungkinan akan melonjak naik.
“Kita tidak bisa lagi mengendalikan harga migor disekitar Rp 14 ribu. Kemungkinan bisa naik terus , terutama respon dari kebijakan ini biasanya dari suplai akan naik harganya,”jelasnya.
• HET Dicabut, Minyak Goreng Kemasan di Pontianak Tembus Rp 28 Ribu
Oleh karena itu, agar kebijakan ini tidak memberatkan rakyat kecil atau masyarakat miskin. Maka kebijakan ini harus diikuti dengan pemberian migor dengan harga subsidi.
Kalau bisa diatur subsisi tersebut diperuntukan untuk masyarakat kelompok bawah. Lalu diberikan tanda diwarung-warung bahwa ada migor subsidi.
“Mudah-mudahan orang kaya atau menengah atas malu untuk membeli migor subsidi dan membeli migor harga normal,”ujarnya.
Subsidi diperlukan terutama selisih harga HET yang lama atau yang dicabut dengan yang pasar. Itulah besaran yang harus disubsidi pemerintah.
“Mengapa kita perlu subsidi kita membutuhkan kebijakan subsidi untuk menjaga stabilitas harga. Mau tidak mau kita hsrus sadar bahwa sekarang krtergantungan kepada migor tinggi,” ungkapnya.
Dikatakannya hampir semua komoditi atau barang makan lainnya berhubungan dengan migor. Apapun dimulai dengan migor. Sehingga jajanan pun banyak tergantung pada ketersediaan migor .
“Jadi tidak mudah kita mengatakan tidak usah pakai minyak goreng pindah ke rebus-rebus. Ngomong nyaman tapi praktek susah ,”tegasnya.
Karena itu subsidi penting untuk menjaga stabilitas harga dipasar. Karena asumsi makro ekonomi APBN inflasi 3 persen +- 1 . Artinya 2 sampai 4 persen.
“Saya meilihat berapa kajian dari berapa lembaga internasional yang memperkirakan memang kecenderungan inflasi 2022 akan meningkat,” ujarnya.
Supaya angka inflasi itu tidak meningkat cepat di Indonesia masih dalam asumsi APBN. Maka perlu memberikan subsidi, tapi kalau mencabut HET berarti untuk masyarakat miskin harus disertai subsidi supaya stabilitas harga terjamin karena migor sudah brkaitan dengan banyak barang lain. (*)
(Simak berita terbaru dari Pontianak)