Izin Konsesi Kawasan Hutan 11 Perusahaan di Kalbar Dicabut, 15 Perusahaan Dievaluasi
Di Kalbar terdapat 11 perusahaan yang dicabut izin baik itu izin Hak Guna Usaha (HGU), hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
Penulis: Anggita Putri | Editor: Try Juliansyah
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Pemerintah Pusat mencabut ribuan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Kehutanan, dan Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan di seluruh Indonesia.
Putusan tersebut termuat dalam SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 Tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan yang baru saja diumumkan kemarin, walaupun sebenarnya sudah di-SK-kan pada 5 Januari 2022 lalu.
Dari ribuan izin yang dicabut, Kalbar juga termasuk di dalamnya, hal tersebut disampaikan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Kalbar, Ir H Adi Yani.
Adi Yani mengatakan bahwa dari ribuan izin usaha dicabut Se-Indonesia, di Kalbar terdapat 11 perusahaan yang dicabut izin baik itu izin Hak Guna Usaha (HGU), hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan 15 Perusahaan yang dievaluasi.
• Mediasi Kasus Perundungan Anak Bawah Umur di Pontianak, Berikut Penjelasan dari Polresta Pontianak
Adapun 11 Perusaan yang dicabut izin Konsesi Kehutannya antara lain ada PT Nityasa Idola dengan luas 113.196 hektare. PT Rimba Equator Permai seluas 17.068 hektare.
PT Kusuma Puspawana seluas 9.614 hektare. Lalu ada PT Graha Agro Nusantara seluas 3.237 hektare, PT Pinang Witmas Abadi seluas 5.676,51 hektare dan PT Cemaru Lestari seluas 13.241,50 hektare.
Selanjutnya juga ada PT Citra Sawit Cemerlang seluas 15.705,75 hektare, PT Multi Prima Entakai (I) seluas 2.550 hektare, PT Patiware (d/h Perintis Makmur) seluas 6.801,78 hektare.
PT Sumatera Jaya Agrolestari seluas 10.935,40 hektare dan PT Pranaindah Gemilang seluas 1.266 hektare.
Ia menyampaikan tentunya dari pencabutan izin berdasarkan SK tersebut sudah sampai ke Presiden, selain itu, kemungkinan juga (pencabutan), salah satunya berdasarkan usulan Pemerintah Provinsi Kalbar.
Hal tersebut berawal dari Gubernur Kalbar yang meminta Dinas LHK mengevaluasi semua perizinan kehutanan di Kalbar.
“Lalu kami tindaklanjuti dengan melakukan evaluasi, dari evaluasi itu ternyata banyak perusahaan HTI, HPH dan sebagainya yang tidak produktif. Hal tersebut ditandai dengan mereka tidak membuat RKT (rencana kerja tahunan),” ujarnya.
Maka atas dasar itulah, Gubernur Kalbar menyurati Menteri LHK untuk segera mencabut izin dan melakukan evaluasi terhadap perusahaan.
"Pak Gubernur memerintahkan kami agar menyurati Kementerian LHK. Saat itu waktu Bu menteri ke Kalbar juga ditindaklanjuti kembali oleh Pak Gubernur," ujarnya.
"Sehigga ada kemungkinan langkah Bu Menteri LHK itu, salah satunya berdasarkan usulan Gubernur," jelasnya.
Maka dari itu perusahaan-perusahaan ini dievaluasi dan ternyata dari surat Gubernur Kalbar itu ditanggapi dengan SK Menteri LHK yang telah dikeluarkan pada 6 Januari 2021.
“Jadi di Kalbar ini ada 11 perusahaan yang dicabut izinnya baik HGU, HTI, HPH. sedangkan yang dievaluasi ada 15 perusahaan di Kalbar," katanya.
"Saat ini kami masih menunggu petunjuk KLHK setelah dicabut dan dievaluasi apa yang harus dilakukan Pemprov,” ungkapnya.
Namun sambil menunggu, pihaknya (Dinas LHK Provinsi Kalbar) akan terus menyisir, mengevaluasi terhadap semua kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan oleh semua perusahaan-perusahaan di Kalbar.
Selain dari 11 perusahaan yang dicabut izin dan 15 perusahaan yang dievaluasi. Misalnya ditemukan banyak aktivitas ilegal logging, ilegal mining yang berada didalam kawasan hutan.
“Maka setelah kita evaluasi, kita cari dimana keberadaannya, ternyata ada didalam izin mereka, tapi notabene mereka selalu berkirim surat ke kami bahwa di areal mereka terdapat ilegal logging atau ada tanaman-tanaman sawit," katanya.
"Kenapa lapor ke kami, padahal mereka yang diberikan izin. artinya kewenangan dan tanggung jawab ada di mereka,” tegasnya.
Hal tersebut dikatakannya menjadi salah satunya mengapa harus dievaluasi. Artinya perusahaan tersebut menelantarkan areal yang sudah dibebankan izin kepada perusahaan tersebut.
Pihaknya melakukan evaluasi juga berdasarkan izin yang mereka terima. Lalu terkait misalnya RKT, itu merupakan tanggung jawab perusahaan melakukan RKT setiap tahun.
"Pada RKT tersebutlah dimana mereka membuat perencanaan, membuat program, di mana lokasi pembibitan, penanaman, jangka waktunya berapa, luas berapa hektar, bibitnya berapa, kerjasama dengan masyarakat seperti apa,” jelasnya.
Akan tetapi pada faktanya ada beberapa perusahaan yang tidak menyusun RKT. Itulah alasan mengapa izin pada perusahaan tersebut dicabut.
“RKT ini sekarang sudah sistem online. Kami sudah membuat ceklis apa yang harus kita evaluasi, tidak hanya pada lokasi yang mau ditanam, tapi lokasi yang tidak ditanam pun akan kami evaluasi,” tegasnya.
Misalnya saja terkait laporan AMDAL perusahaan, laporan rencana pengelolaan lingkungan, rencana pemantauan lingkunganya.
Kemudian bagaimana perusahaan melakukan evaluasi, atau melakukan pengawasan terhadap areal kerjanya.
Kemudian bagaimana mereka melakukan koordinasi dengan masyarakat.
Ia mengatakan karena setiap izin yang diberikan ada namanya kelola sosial, maka bagaimana mereka melakukan kelola sosial di dalam dan sekitar izin perusahaan mereka.
"Jadi banyak hal yang perlu kita lakukan evaluasi lagi yang pasti perusahaan yang dicabut dan dievaluasi ini akan kita inventarisir kembali," tuturnya.
"Karena pasti ada pertanyaan bahwa jangan-jangan yang dicabut dan dievaluasi itu hanya perusahaan kecil. Makanya harus kita evaluasi semua. Jadi kita akan evaluasi sampai sejauh itu," tegasnya lagi.
Sebanyak 11 perusahaan yang dicabut izinnya, dan 15 dievaluasi aktivitasnya merupakan izin perusahaan periode selama kurun waktu 2015 sampai 2021.
“Karena izin mereka itu rata-rata di tahun 2009, 2010 dan seterusnya. Tapi dievaluasi dari tahapan-tahapan yang telah mereka lakukan," tuturnya.
"Salah satunya RKT mereka, kenapa demikian, karena ada yang kami temukan itu dan yang kami minta dicabut melalui Surat Gubernur ternyata ada yang tidak melaksanakan RKT selama 5 tahun bahkan lebih," lanjutnya lagi.
Padahal jika mengikuti di dalam aturan, 3 tahun saja tidak melakukan RKT, maka perusahaan tersebut harus dievaluasi oleh Kementrian.
Maka dari itu tentunya KLHK mencabut semua izin yang tidak produktif ini yang akan diberikan pengelolaannya kepada masyarakat dengan Pola perhutanan sosial.
Hal tersebut karena hampir juga sebagian besar izin konsesi itu ternyata di dalamnya ada overlap dengan izin perhutanan sosial. seperti misalnya disitu ada hutan desa, hutan adat, dan sebagainya.
“Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka harus dikeluarkan statusnya. Ini juga jadi persoalan kami di daerah, yang mana kalau kami bergerak membantu perizinan dari hutan desa dan hutan adat, disitu dibebankan izin konsesi yang sudah belasan tahun diberikan dan ternyata tidak dikelola, makanya kementerian memberikan itu kepada hutan adat dan hutan desa,” jelasnya.
Kedepan dikatakannya bagaimana pengelolaan itu akan diberikan kepada masyarakat melalui pola perhutanan sosial.
Kalau untuk perhutanan sosial ini, Pemda sifatnya melakukan pendampingan kepada masyarakat melalui KPH (Kelompok pengelola hutan).
KPH juga tak bisa kerja sendiri tentu harus dibantu dengan pendampingan mitra dalam hal ini NGO. Karena di Kalbar ini perhutanan sosial perizinannya paling banyak Se-Indonesia yakni ada 200an izin.
Ia menegaskan intinya pencabutan dan evaluasi yang dilakukan KLHK itu berdasarkan usulan Provinsi kepada KLHK.
“Jadi usulannya dari daerah, walaupun izin di pusat. Kemudian KLHK juga melihat dari kiprah perusahaan,” ujarnya.
Selain itu, Kepala Dinas Disperindag dan ESDM Provinsi Kalbar, Syarif Kamaruzzaman mengatakan bahwa ada lima Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kalbar yang dicabut.
Kelima Perusahaan tersebut yakni PT Alam Sambas Sejahtera, PT Bumi Kalimantan, PT Radiance Energ, PT Borneo Resource Utama, PT Rida Jaya Mandiri. (*)
(Simak berita terbaru dari Pontianak)