Harga Cabai Melambung, Distan Sebut Produksi Cabai Kalbar masih Kecil Dibanding Kebutuhan Masyarakat

Bahkan di Kabupaten Sintang, harga cabai rawit menyentuh harga tertinggi dalam sejarah yaitu Rp 200 ribu per kilogram.

Editor: Jamadin
TRIBUNPONTIANAK/ISTIMEWA
Kelompok tani, Petani Muda Berkemajuan saat berfoto bersama di sebuah kebun cabai. 

Ia mengatakan, pemerintah maupun Bank Indonesia (BI) atau lainnya bisa memikirkan terkait BUMD. Kalau perlu terkait kawasan, pemerintah juga harus memikirkan Land Banking atau Bank Lahan, karena semakin hari manusia makin bertambah dan lahan semakin sedikit.

“Kalau menggunakan lahan pemerintah tidak mungkin dijual oleh petani, dan nanti manajemennya bisa di bawah BUMD. Sehingga perputaran ekonomi bagus,” ujarnya.

Bader Sasmara mengatakan, petani yang ada saat ini rata-rata di umur 40 tahun ke atas. Selain itu banyak perempuan juga, selain laki-laki. Maka, anak muda perlu dimotivasi untuk kembali ke sektor pertanian.

“Saya yakin kalau diurus secara BUMD atau dengan manajemen yang bagus maka sektor pertanian akan lebih menarik,” ujarnya.

Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kalbar, Heronimus Hero menyampaikan, pihaknya mempunyai tugas dalam memantau harga dan melakukan upaya stabilisasi.

Ia mengatakan bahwa untuk stabilisasi cabai rawit juga sangat tergantung terhadap pemetaan sentra produksinya. “Kalau harganya tinggi kami dekatkan pasarnya. Sehingga biaya angkut bisa kami subsidi dan harga bisa turun,” ujarnya.

Ia mengatakan, fluktuasi harga cabai sangat temporer yang biasanya terjadi saat hari besar keagamaan atau tahun baru. “Masyarakat sebenarnya banyak pilihan atau substitusi. Jadi saat harga naik kita sarankan bisa konsumsi cabai kering, cabai besar, cabai botol dan lainnya,” ujarnya.

Heronimus menyarankan kepada masyarakat agar saat harga cabai rawit naik, sementara beralih ke cabai kering, cabai besar atau memanfaatkan pekaranagan untuk menanamkan cabai. “Karena untuk budidaya cabai ini sangat mudah,” katanya.

Program Khusus
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Kabupaten Sintang, Elisa Gultom mengatakan, faktor cuaca sangat berpengaruh terhadap produktivitas cabai. Ketika cuaca tidak mendukung, kenaikan harga cabai dinilai tidak terhindarkan.

Hal itulah yang menyebabkan kenaikan harga cabai hingga Rp 200 ribu per kilogram (kg) di Sintang. "Karena tanaman ini kan sangat tergantung pada cuaca. Ketika musim hujan ekstrem, mulai banjir kemarin, itu yang membuat faktor utama (harga naik), sehingga kalau pun ada yang berhasil panen sangat terbatas, maka harga naik. Ketika barang kosong harga melambung,” kata Gultom, pada Rabu 29 Desember 2021.

“Saya pikir dalam kondisi hujan tinggi, lembap, yang namanya serangan hama kuat nyerang, sehingga tidak bisa dihindari nah itu dia membuat cabai banyak yang mati," imbuhnya.

Gultom menyebut, pihaknya melalui Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) tetap memberikan pendampingan terhadap petani cabai, seperti di Desa Pakak, Kecamatan Kayan Hilir. Pendampingan diberikan terhadap petani gagal panen akibat serangan hama dan cuaca ekstrem.

"Bantuan obat dan pendampingan tetap jalan. Namun kalau kondisi hujan masih cukup tinggi, ya saya pikir percuma juga," katanya.

Menurut Gultom, potensi cabai di Kabupaten Sintang, cukup lumayan. Hanya saja, saat ini masih didominasi cabai dari Desa Pakak. Gultom mengaku dinasnya tidak punya program khusus untuk meningkatkan produktivitas cabai.

"Selain Pakak, tempat lain ada, tapi bukan sentral. Program ke depan supaya banyak petani cabai, secara khusus tidak ada sih program itu. Karena begini, memprogramkan komoditas itu, tidak boleh juga, berisiko. Begitu dia banyak, timpang, yang terjadi anjlok harganya. Kadang tidak masuk akal juga murahnya, naiknya juga," ungkapnya.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved