Ramadan 2021

Ramadan dan Bangun Jaring Pengaman Sosial Mandiri Atasi Krisis Pandemi

Berbagai kebijakan dan program tersebut tidak lah cukup. Mengandalkan pemerintah sebagai lokomotif tunggal penggerak dalam upaya mitigasi bencana pand

TRIBUNPONTIANAK/ISTIMEWA
Arief Adi Purwoko, S.Fil., M.Sc. Dosen Bidang Keahlian Ketahanan Nasional IAIN Pontianak. 

Semangat yang terpancar dari tradisi Meugang, Malamang, atau Nyorog menyiratkan kemampuan masyarakat terhadap suatu “keterjangkauan” tertentu dengan tanpa menyertakan kelas sosial, bahkan di beberapa kesempatan ia telah menunjukkan ketertanggalan latar belakang atau atribut primordialnya.

Di kesempatan lain, tradisi “Pasar Juadah” di Pontianak dapat direpresentasikan sebagai ruang memadai bagi terselenggaranya demokrasi ekonomi.

Apabila begawan ekonomi Pancasila, Mubyarto meletakkan pandangan bahwa ekonomi kerakyatan adalah sebuah usaha produksi bersifat kooperatif dengan melibatkan pelaku ekonomi mikro, kecil, menengah, hingga besar dengan tujuan pemerataan kesejahteraan, maka berbagai macam bentuk pasar “tiban” yang hanya muncul di Bulan Ramadan tersebut, dapat dikatakan bentuk ruang pemerataan kesejahteraan ekonomi yang dimaksud.

Berangkat dari berbagai fenomena tersebut, apa yang dapat digarisbawahi adalah bagaimana potensi dan inisiatif umat dalam menciptakan ruang jaring pengaman sosial mandiri tidak dapat dipandang sebelah mata.

Apa yang diperlukan adalah ketepatan dalam memantik keberdayaan tersebut, terutama dalam hal ini adalah bagaimana Ramadan telah menunjukkan eksistensinya sebagai momentum memadai untuk menggiatkan berbagai keberdayaan kolektif.

Lebih menarik lagi, teror pandemi tidak sepenuhnya menggugurkan tradisi-tradisi tersebut. Secara adaptif, bentuk-bentuk kegiatan menyesuaikan terhadap kondisi kedaruratan pandemi tanpa mengurangi tujuan sosialnya.

Energi positif Ramadan sudah saatnya juga diarahkan dalam upaya mitigasi pandemi. Peradaban Islam telah lama mengenal ruang pemberdayaan dan pemerataan kesejahteraan umat, yakni apa yang sering disebut sebagai baitul mal.

Baca juga: Akhir Ramadan dan Apa yang Mereka Butuhkan?

Tentu saja keberadaannya dapat disesuaikan dengan konteks waktu kekinian, yakni dogma agama diiringi dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Ilmu dan teknologi akan membantu untuk memetakan kebutuhan umat, sedangkan dogma akan menggerakkan keberdayaan individu dalam ruang privat, kemudian menggulung menjadi kesalehan sosial dengan tujuan kolektif.

Pemerintah, dalam hal ini wajib hadir secara aktif untuk memberikan payung legal, berbagai fasilitas ruang, maupun dalam bentuk dukungan lainnya sehingga berbagai gerak positif tersebut dapat terus berlangsung.

Integrasi tersebut akan menciptakan kesiapan dan kesiagaan dalam menghadapi berbagai ancaman krisis dalam waktu yang relatif lebih panjang, daripada harus menyerahkan segalanya kepada kemampuan belanja negara yang terbatas. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved