Ramadan 2021
Ramadan dan Bangun Jaring Pengaman Sosial Mandiri Atasi Krisis Pandemi
Berbagai kebijakan dan program tersebut tidak lah cukup. Mengandalkan pemerintah sebagai lokomotif tunggal penggerak dalam upaya mitigasi bencana pand
Penulis: Muhammad Luthfi | Editor: Rivaldi Ade Musliadi
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Ramadan telah memasuki fase 10 (sepuluh) hari terakhir menjelang Syawal tahun 1442 H. Masih dalam suasana yang sama dengan tahun lalu.
Kehadiran pandemi Covid-19 telah memberikan ruang ketakutan bagi sebagian besar umat manusia di dunia. Berbagai upaya telah dilakukan, terutama oleh pemerintah dengan harapan bangsa ini dapat keluar dari zona krisis sebagai dampak yang melekati.
Dari kebijakan yang paling ketat berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga yang paling longgar seperti Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang lebih bersifat lokal atau mikro tergantung kondisi di masing-masing wilayah. Kebijakan diambil sebagai upaya melokalisasi gerak penularan sehingga rantai pandemi diharapkan dapat terputus.
Tidak kurang dari 7 (tujuh) program yang dapat digolongkan sebagai bentuk Jaring Pengaman Sosial (JPS), sebut saja seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Padat Karya Tunai (PKT), Kartu Sembako, Kartu Prakerja, Subsidi Listrik, Bantuan Tunai Langsung (BLT), dan Bantuan Sosial (Bansos) digulirkan dengan harapan terpenggalnya ekses negatif sistemik pandemi yang menggerogoti organ hidup negara.
Berbagai kebijakan dan program tersebut tidak lah cukup. Mengandalkan pemerintah sebagai lokomotif tunggal penggerak dalam upaya mitigasi bencana pandemi sama halnya dengan mempertaruhkan masa depan bangsa kepada keterbatasan modal yang dimiliki oleh negara.
Artinya, anggaran belanja negara yang telah diperhitungkan pada dasarnya tidak akan pernah melibatkan variabel-variabel konteks kedaruratan dalam jangka waktu panjang dan kontinyu.
Oleh karena itu, dalam hal ini seharusnya kalkulasi modal penyangga kedaruratan melibatkan kesatuan energi yang dimiliki oleh pemerintah dalam arti penyelenggara negara, sekaligus potensi kemandirian masyarakat secara utuh.
Berkaca kepada pendapat tersebut, Bulan Suci Ramadan telah membisikkan potensi ajaib dalam pembacaan ketahanan wilayah, bahkan ketahanan nasional, terutama dalam pembacaan daya hidup mengatasi krisis akibat pandemi.
Kata kunci yang tepat untuk mengantar pembahasan ini adalah “kesalehan sosial” yang memuncak di bulan penuh berkah ini. Pasalnya, keutamaan ibadah di Bulan Ramadhan tidak hanya mencakup ibadah individual di ruang privat, seperti halnya sholat baik yang wajib maupun sunnah, atau puasa sebagai indikator ketakwaan insani.
Baca juga: Santuni Anak Yatim dan Warga Kurang Mampu, YBM PLN Ketapang Bagikan Bingkisan Ramadan
Lebih luas, ibadah tersebut juga menempatkan pengekangan terhadap hawa nafsu, keberdayaan diri untuk dapat memberikan manfaat kepada subjek-subjek lain di lingkungan sekitar.
Dalam Surah Al Baqarah Ayat 184, Allah Swt. Berfirman: “(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang ia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
Menelisik dalam perspektif sosiologis, Mark S. Granovetter, menggagas suatu pandangan yang sering disebut dengan “ketertambatan” atau “keterlekatan” (embeddedness) jaringan sosial. Gagasan tersebut secara garis besar menjelaskan bahwa kapital sosial yang dikonseptualisasi baik sebagai kuantitas maupun kualitas, dengan melibatkan aktor sebagai individu maupun komunitas untuk menciptakan aksesibilitas melalui ruang yang dimilikinya dalam suatu jaring sosial.
Baca juga: Bacaan Doa Buka Puasa Ramadhan Zahaba Zommau dan Allahumma Laka Sumtu
Demikian halnya dengan Ramadan di Indonesia, tidak dapat dielakkan terjadi suatu gerakan sosial-kultural di dalamnya, meskipun gerakan tersebut awalnya dimotori oleh konsep penghambaan kepada Al Khaliq.
Berbagai macam tradisi seperti “Meugang” di Aceh, “Malamang” atau “Balimau” di Sumatera Barat, “Nyorog” bagi etnik Betawi, dan tradisi “Pasar Juadah” di Pontianak adalah bentuk-bentuk gerakan kultural khas yang hanya dapat ditemui di bulan keagamaan tersebut. Ketertambatan motivasi religius dalam gerakan kultural Ramadan pada dasarnya telah menciptakan ruang sosial yang unik, kemudian memberikan jalan sebagai akses umat untuk menjangkaunya.
Tentu saja membicarakan berbagai tradisi tersebut tidak harus diarahkan kepada persepsi gerak massal pada suatu ruang, atau kerumunan, tetapi lebih kepada bagaimana nilai kegotongroyongan yang melibatkan kemandirian tersebut dapat terselenggara.
Semangat yang terpancar dari tradisi Meugang, Malamang, atau Nyorog menyiratkan kemampuan masyarakat terhadap suatu “keterjangkauan” tertentu dengan tanpa menyertakan kelas sosial, bahkan di beberapa kesempatan ia telah menunjukkan ketertanggalan latar belakang atau atribut primordialnya.
Di kesempatan lain, tradisi “Pasar Juadah” di Pontianak dapat direpresentasikan sebagai ruang memadai bagi terselenggaranya demokrasi ekonomi.
Apabila begawan ekonomi Pancasila, Mubyarto meletakkan pandangan bahwa ekonomi kerakyatan adalah sebuah usaha produksi bersifat kooperatif dengan melibatkan pelaku ekonomi mikro, kecil, menengah, hingga besar dengan tujuan pemerataan kesejahteraan, maka berbagai macam bentuk pasar “tiban” yang hanya muncul di Bulan Ramadan tersebut, dapat dikatakan bentuk ruang pemerataan kesejahteraan ekonomi yang dimaksud.
Berangkat dari berbagai fenomena tersebut, apa yang dapat digarisbawahi adalah bagaimana potensi dan inisiatif umat dalam menciptakan ruang jaring pengaman sosial mandiri tidak dapat dipandang sebelah mata.
Apa yang diperlukan adalah ketepatan dalam memantik keberdayaan tersebut, terutama dalam hal ini adalah bagaimana Ramadan telah menunjukkan eksistensinya sebagai momentum memadai untuk menggiatkan berbagai keberdayaan kolektif.
Lebih menarik lagi, teror pandemi tidak sepenuhnya menggugurkan tradisi-tradisi tersebut. Secara adaptif, bentuk-bentuk kegiatan menyesuaikan terhadap kondisi kedaruratan pandemi tanpa mengurangi tujuan sosialnya.
Energi positif Ramadan sudah saatnya juga diarahkan dalam upaya mitigasi pandemi. Peradaban Islam telah lama mengenal ruang pemberdayaan dan pemerataan kesejahteraan umat, yakni apa yang sering disebut sebagai baitul mal.
Baca juga: Akhir Ramadan dan Apa yang Mereka Butuhkan?
Tentu saja keberadaannya dapat disesuaikan dengan konteks waktu kekinian, yakni dogma agama diiringi dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Ilmu dan teknologi akan membantu untuk memetakan kebutuhan umat, sedangkan dogma akan menggerakkan keberdayaan individu dalam ruang privat, kemudian menggulung menjadi kesalehan sosial dengan tujuan kolektif.
Pemerintah, dalam hal ini wajib hadir secara aktif untuk memberikan payung legal, berbagai fasilitas ruang, maupun dalam bentuk dukungan lainnya sehingga berbagai gerak positif tersebut dapat terus berlangsung.
Integrasi tersebut akan menciptakan kesiapan dan kesiagaan dalam menghadapi berbagai ancaman krisis dalam waktu yang relatif lebih panjang, daripada harus menyerahkan segalanya kepada kemampuan belanja negara yang terbatas. (*)