Ramadan 2021

Puasa dan Budaya Konsumerisme

Secara bahasa, “puasa” artinya menahan diri. Dalam istilah agama, puasa artinya menahan diri dari makan dan minum dalam rentang waktu tertentu sebagai

TRIBUNPONTIANAK/ISTIMEWA
Civitas akademika Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, Sueib Qirom yang juga Staf Rektor IAIN Pontianak. 

Mal-mal dan pusat-pusat belanja penuh padat pengunjung. Apalagi menjelang sore hari saat akan berbuka puasa. Sebagian mal atau tempat belanja menyuguhkan hidangan ringan untuk berbuka puasa kepada pengunjung.

Ini semakin meningkatkan gairah masyarakat untuk datang dan memilih berbuka di tempat-tempat itu daripada di tempat-tempat ibadah atau di rumah sendiri bersama keluarga.

Baca juga: Mirad : Kemenag Mempawah Akan Lakukan Tausiah Ramadan Melalui Rekaman Radio

Bahkan, saat ini, berbuka di mal-mal atau tempat-tempat belanja menjadi semacam gaya hidup. Ibarat pepatah “sambil menyelam minum air”, sembari menunggu berbuka puasa, jalan-jalan sambil melihat-lihat barang; tentu bukan sekadar melihat, melainkan pada akhirnya membeli, mengonsumsi.

Bagi masyarakat perkotaan, terutama kelas menengah ke atas, berbuka di tempat-tempat itu kelihatannya lebih menarik dan lebih prestisius dibandingkan dengan berbuka di tempat-tempat ibadah atau di panti-panti sosial seperti rumah-rumah anak yatim dan sejenisnya.

Budaya konsumerisme meningkat di awal-awal dan hari-hari terakhir bulan Ramadan. Toko-toko baju dan makanan ramai didatangi pengunjung. Sementara puasa mendorong untuk lebih giat beribadah, baik itu ibadah ritual maupun sosial, terutama di hari-hari terakhir bulan Ramadan.

Baca juga: Marhaban Ya Ramadhan

Puasa mendorong orang untuk berlama-lama di tempat ibadah dan makin intensif melakukan kegiatan-kegiatan sosial, membantu orang-orang yang kesulitan secara ekonomi. Puasa juga menganjurkan untuk banyak-banyak mendekat dengan orang-orang yang susah agar rasa empatinya muncul lalu tergerak membantu.

Konsumerisme yang justru meningkat pesat di bulan Ramadan menggambarkan betapa puasa tampaknya acap kali kehilangan maknanya. Ramadan telah dikapitalisasi sedemikian rupa untuk menjauhkan setidaknya melenakan masyarakat dari pesan-pesan substansial yang diajarkan agama melalui puasa: kesederhanaan, empati, kepekaan sosial, keluhuran budi, kemanusiaan dan spiritualitas.

Masyarakat digiring untuk menjauhi atau tidak memedulikan itu semua kemudian tenggelam dalam ingar-bingar suasana Ramadan yang telah dikapitalisasi dan disulap demi menarik lebih kuat lagi budaya konsumerisme. Nabi pernah mengingatkan, “Betapa banyak orang berpuasa tetapi hanya mendapat lapar dan haus semata”. (*)

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved