Ramadan 2021
Puasa dan Budaya Konsumerisme
Secara bahasa, “puasa” artinya menahan diri. Dalam istilah agama, puasa artinya menahan diri dari makan dan minum dalam rentang waktu tertentu sebagai
Penulis: Muhammad Luthfi | Editor: Rivaldi Ade Musliadi
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, SAMBAS - Budaya Konsumerisme ditengah puasa sering kali terjadi. Karenanya, patut jika kita minimalisir.
Civitas akademika Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, Sueib Qirom yang juga Staf Rektor IAIN Pontianak mengatakan pada saat mat Islam kembali menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh pada siang hari, dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Disebutkan, puasa dimaksudkan untuk menjadikan pelakunya sebagai orang bertakwa (QS al-Baqarah : 183); saleh individual dan saleh sosial sekaligus.
Secara bahasa, “puasa” artinya menahan diri. Dalam istilah agama, puasa artinya menahan diri dari makan dan minum dalam rentang waktu tertentu sebagai perwujudan dari kebaktian dan ketaatan kepada Allah dan Rasulullah.
Secara lahiriah, puasa berarti menahan dan menekan diri dari hasrat dasar atau biologis manusia: makan dan minum.
Secara batiniah, puasa berarti menahan diri dari hasrat-hasrat atau keinginan-keinginan buruk demi mengharap keridaan Allah. Inilah yang disebut Imam al-Ghazali dalam mahakaryanya, Ihya Ulumuddin, sebagai puasa level paling tinggi (khusush al-khushush). Adapun puasa lahiriah disebutnya sebagai puasa level pertama. Sekadar menahan diri dari makan dan minum atau kebutuhan biologis.
Orang berpuasa sesungguhnya didorong lebih daripada itu. Tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dan menekan budaya konsumerisme. Dengan itu, ia didorong untuk lebih banyak beramal, tidak hanya amal individual tetapi juga sosial.
Baca juga: Momentum Ramadan, Darwis: Masyarakat Antar Umat Beragama Saling Silaturahmi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsumerisme diartikan sebagai paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya; gaya hidup yang tidak hemat.
Artinya, membeli bukan untuk kebutuhan melainkan untuk gaya hidup (life style), kemewahan, kebanggaan, atau menunjukkan status sosial. Di media televisi, sepanjang bulan Ramadan, penuh dengan jejalan iklan-iklan produk konsumtif.
Masyarakat secara massif terus-menerus digempur oleh iklan-iklan yang membius, sehingga terbuai dan kehilangan kesadaran akan hakikat dari kebutuhan.
Mengutip pandangan Abraham Maslow, manusia memiliki kebutuhan yang bertingkat-tingkat. Yang paling mendasar adalah kebutuhan fisik. Selanjutnya, kebutuhan memperoleh rasa aman, kebutuhan sosialisasi, kebutuhan pengakuan, dan kebutuhan aktualisasi diri.
Baca juga: Ramadan Pertama Vaksinasi Tetap Berjalan, Handanu Sebut Ada Penerima Vaksin Tak Hadir Saat Vaksinasi
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, manusia akan mengusahakannya dengan kegiatan konsumsi. Dalam masyarakat modern, konsumen telah membawa manipulasi aktif dari tanda, sehingga tanda dan komoditas yang datang bersama-sama dalam produksi tanda komoditas.
Konsep dan kemasan iklan dalam kenyataannya sangat akrab dengan manipulasi aktif dari tanda tersebut sehingga pengaruh iklan sebagai kekuatan manipulatif dan hegemoni dalam kehidupan secara dramatis semakin merajalela. Iklan, dengan demikian, telah menciptakan kesadaran palsu dan memusnahkan kesadaran sejati.
KEBUTUHAN PALSU
Iklan menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu yang bertemu dalam suatu cara yang tidak memuaskan secara fundamental dengan konsumsi yang mencolok mata yang dipercaya bahwa kesejahteraan dan kedamaian pikiran itu didapatkan dari belanja pelbagai komoditas. Inilah iklan yang bisa membuai dan menciptakan hyper-reality.
Dengan adanya iklan-iklan tadi, terjadi paradoks yang kentara. Pada satu sisi, melalui puasa orang diimbau untuk “menahan” dan “menekan”, pada kenyataannya iklan-iklan produk justru makin digelontorkan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pontianak/foto/bank/originals/civitas-akademika-institut-agama-islam-negeri-iain-pontianak-sueib-qirom.jpg)