Mulyadi Ajak Kader NU Kawal Esensi Dakwah Islam Wasathiyah dan Jaga Keutuhan NKRI

Dewasa ini kata Mulyadi, kita dihadapkan pada munculnya kelompok Islam yang intoleran, eksklusif. Mudah mengkafirkan orang, kaku, dan kelompok lain ya

Penulis: Ramadhan | Editor: Hamdan Darsani
TRIBUNPONTIANAK/ISTIMEWA
Wakil Ketua Tandfiziyah PCNU Kabupaten Mempawah, Mulyadi. 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, MEMPAWAH - Wakil Ketua Tandfiziyah PCNU Kabupaten Mempawah, Mulyadi, mengajak seluruh Kader NU di Mempawah untuk mengawal dan meneguhkan eksistensi amalan Islam Ahlussunnah Waljamaah Annhdiyah.

"Untuk kader NU tetap jaga amalan Islam Ahlussunnah Waljamaah ditengah-tengah masyarakat jamiyah Nahdlatul 'Ulama atau warga Nadhliyin, kemudian jaga keutuhan NKRI," pesannya, Minggu 7 Maret 2021.

Dewasa ini kata Mulyadi, kita dihadapkan pada munculnya kelompok Islam yang intoleran, eksklusif. Mudah mengkafirkan orang, kaku, dan kelompok lain yang gampang menyatakan permusuhan dan melakukan konflik.

Baca juga: Besok Pemkab Mempawah Lakukan Vaksinasi COVID Tahap Kedua, Sasaran Pelayan Publik, Guru dan Polri

Bahkan kalau perlu melakukan kekerasan terhadap sesama muslim yang tidak sepaham dengan kelompoknya.

"Selain itu kita juga dihadapkan pada munculnya komunitas Islam yang cenderung liberal dan permisif," katanya.

Menurutnya, kedua kelompok tersebut tergolong kelompok ekstrem kanan (tatharruf yamini), dan ekstrem kiri (yasari).

"Yang bertentangan dengan wujud ideal dalam mengimplementasikan  ajaran Islam di Indonesia bahkan dunia," ujarnya.

Menurutnya juga, bagi bangsa Indonesia khususnya, menolak pemikiran atau paham keagamaan dan ideologi serta gerakan kedua kelompok tersebut.

Karena tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dianut dan dibangun bangsa Indonesia.

"Islam wasathiyah sejatinya merupakan ajaran ulama nusantara yang selama ini dianut dan diamalkan oleh umat Islam di nusantara," jelasnya.

Namun setelah terjadinya revolusi teknologi informasi, kata Mulyadi, dimana semua paham keagamaan bisa diakses dengan mudah dan bebas oleh masyarakat.

Maka mulailah ajaran keagamaan yang awalnya tidak dikenal di Indonesia dan berkembang di negara lain, mulai masuk dan diajarkan di Indonesia.

"Termasuk ajaran keagamaan yang radikal yang bisa membimbing pemeluknya melakukan tindakan teror," katanya.

Lebih jauh, Mulyadi berpendapat, moderat dalam Islam bukan berarti tidak punya pendirian dan sikap, apalagi meninggalkan ibadah dan ajaran agama.

"Islam Wasathiyah menjadikan Islam sebagai Rahmat bagi seluruh alam semesta. Rahmat Islam berlaku bagi seluruh umat manusia sekaligus binatang. Oleh karena itu, Islam Wasathiyah harus saling menyayangi dan berbagi," terangnya.

Selain itu, Islam Wasathiyah menurut Mulyadi cenderung memilih pilihan yang mudah serta tidak berlebihan dalam segala hal.

"Cara beragama semacam itu sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad yang beribadah tanpa kehilangan sisi manusiawi," katanya.

Menurutnya lagi, paham Islam Wasathiyah juga tidak melakukan paksaan dalam beragama. Tugas umat Islam adalah menyampaikan pesan keislaman tanpa memaksakan kehendak.

"Sayangnya, terkadang kita justru terjebak menghakimi orang lain, serta dalam beragama tidak boleh memaksa. Jangan seakan-seakan merasa Rahmat Allah tidak akan turun kepada orang lain,” tegas Mulyadi.

Untuk itu, kata Mulyadi Islam sebagai agama akhir zaman harus mampu menyesuaikan pada keadaan.

“Harus ditengah-tengah, paham kapan harus tegas dan kapan dengan pendekatan cinta,” terangnya.

Selanjutnya Mulyadi mengajak Kader NU untuk mengawal Keutuhan NKRI.

"Karena di Tahun 1945 Pancasila merupakan kalimatun sawa' (common platform) yang menyatukan keragaman etnis, ras, budaya dan agama," katanya.

Meskipun pada awal Indonesia merdeka terjadi perdebatan panjang tentang ideologi negara, namun founding fathers menemukan titik temu pada sebuah terminologi bernama Pancasila.

Pada saat itu kata Mulyadi, tokoh-tokoh kemerdekaan terbagi pada dua kelompok, yakni nasionalis Islam yang mengajukan Islam sebagai dasar negara, dan nasionalis sekuler yang mengajukan pembentukan negara yang tidak mendasarkan pada satu agama tertentu.

"Kelapangan jiwa tokoh-tokoh Islam nasionalis akhirnya disepakati bahwa Pancasila dianggap sebagai Mitsaqan ghaliza atau kesepakatan Suci dari pendiri bangaa Indonesia yang kita cintai ini," tutupnya. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved