ALASAN Sutarmidji Minta Presiden Cabut Omnibus Law dan Jawaban DPR Sebut UU Cipta Kerja Belum Final

Anggota Baleg mengatakan, belum ada naskah final RUU Cipta Kerja. Masih ada beberapa penyempurnaan yang dilakukan terhadap draf RUU Cipta Kerja.

Penulis: Syahroni | Editor: Rizky Zulham
GRAFIS TRIBUN PONTIANAK/ANDHIKA PRASETYO
Gubernur Sutarmidji memohon kepada Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Perpu untuk mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Gubernur Kalbar, Sutarmidji mengungkapkan alasan dirinya secara tegas meminta Presiden Jokowi mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja yang menuai banyak kritikan.

Sutarmidji meminta agar presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ( Perpu ) untuk membatalkan UU Cipta Kerja yang telah disahkan di DPR RI.

“Saya Gubernur Provinsi Kalimantan Barat dengan ini mohon kepada Presiden untuk secepatnya mengeluarkan Perpu yang menyatakan mencabut Omnibus Law Cipta Kerja,” ucap Sutarmidji saat diwawancarai melalui telepon, Kamis 8 Oktober 2020.

Bukan tanpa alasan Midji mendesak agar Jokowi mencabut UU tersebut, alasannya adalah demi menghindarkan pertentangan ditengah masyarakat.

Ia menegaskan melihat gelombang penolakan yang terjadi diberbagai daerah saat ini tidak mustahil demonstrasi semakin meluas dan membuat situasi semakin kacau.

Menurut Sutarmidji, negara harus menciptakan UU yang baik dan harusnya sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh serta berkembang ditengah masyarakat.

“Intinya negara harus mendengar suara rakyat, karena suatu UU itu harusnya mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat dan UU tersebut akan dapat diterima,” tegasnya.

Sutarmidji meminta Omnibus Law harusnya di kaji lebih dalam. Apakah cocok diterapkan atau digunakan dalam negara yang hukumnya kadang belum ada kepastian yang berkeadilan.

“Saya tak ingin pertentangan terkait hal ini menjadikan daerah ini tak kondusif, ditengah pandemi tentunya akan rentan saat ini,” pungkasnya.

Sejak UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja disahkan oleh DPR pada Senin (5/10/2020), memang menimbulkan berbagai gejolak.

Hal ini terlihat dari beragam aksi yang dilakukan di berbagai daerah menolak disahkannya UU Cipta Kerja.

Jawaban DPR

Mengutip Kompas.com, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Firman Soebagyo mengatakan, belum ada naskah final RUU Cipta Kerja.

Menurut Firman, masih ada beberapa penyempurnaan yang dilakukan terhadap draf RUU Cipta Kerja.

"Artinya, bahwa memang draf ini dibahas tidak sekaligus final, itu masih ada proses-proses yang memang secara tahap bertahap itu kan ada penyempurnaan," katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (8/10/2020).

Padahal, RUU Cipta Kerja telah disahkan menjadi undang-undang lewat rapat paripurna DPR yang dipercepat pada Senin (5/10/2020) dari yang seharusnya Kamis hari ini.

Oleh karena itu, dia menilai pendapat publik terhadap RUU Cipta Kerja banyak yang keliru.

Ia merasa khawatir banyak orang yang terprovokasi dengan naskah yang belum final dan beredar di media sosial.

"Kalau ada pihak-pihak menyampaikan melalui pandangan lama, pastinya akan beda dengan yang final. Apalagi kalau mereka hanya di ujung," ujar Firman.

Firman pun mencontohkan, misalnya, ketentuan cuti haid, cuti kematian, upah minimum, pembatasan outsourcing, dan pesangon diatur dalam UU Cipta Kerja.

Ia menjelaskan, klausul mengenai pesangon memang awalnya sesuai UU Ketenagakerjaan Nomor 13/2003, yaitu sebanyak 32 kali upah.

Namun, yang mampu melaksanakan sebanyak 32 kali itu hanya 7 persen perusahaan.

Akhirnya, Baleg DPR dan pemerintah menyepakati pesangon sebanyak 25 kali upah ditambah 6 kali yang dijamin negara lewat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

"Artinya, kalau membuat UU itu harus bisa dilaksanakan. Tidak bisa membuat UU kasih pesangon 32 kali, tapi tidak bisa dieksekusi malah rakyat makin dibohongi," ujarnya.

"Nah, dari 25 kali itu ada jaminan kehilangan pekerjaan," imbuh Firman.

Ia menegaskan, sampai hari ini DPR masih memperbaiki naskah final UU Cipta Kerja. Setelah itu, DPR akan segera menyerahkan naskah UU kepada presiden.

"Sampai hari ini kita sedang rapikan, kita baca dengan teliti kembali naskahnya, jangan sampai ada salah typo dan sebagainya," kata Firman.

"Nanti hasil itu akan segera dikirim ke presiden untuk ditandatangani jadi UU dan sudah bisa dibagikan ke masyarakat," tuturnya.

RUU Cipta Kerja telah disahkan DPR menjadi undang-undang pada Senin (5/10/2020).

Pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto hadir dalam rapat paripurna untuk menyampaikan tanggapan akhir presiden.

Hari itu, Kompas.com telah meminta draf final RUU Cipta Kerja dari Baleg DPR.

Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi kemudian memberikan dokumen berjudul "5 Okt 2020 RUU Cipta Kerja-Paripurna".

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, dalam konferensi Rabu kemarin, mengakui bahwa proses pembahasan UU Cipta Kerja diselesaikan dalam waktu yang singkat.

RUU Cipta Kerja mulai dibahas sejak April, kemudian diselesaikan dan disahkan pada Oktober. Kendati demikian, Yasonna mengatakan, pembahasannya dilakukan secara terbuka.

Menurut Yasonna, publik dapat mengakses rapat pembahasan RUU Cipta Kerja melalui tayangan streaming. Berbagai saran dan masukan publik pun dibahas oleh DPR dan pemerintah.

"Pembahasannya sangat terbuka, walaupun relatif cepat, tapi dibahas dalam panja melalui streaming. Masukan-masukan baik dari fraksi semua dibahas. Semua terbuka," ujar Yasonna.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved