Indra Dwi Prasetyo Ungkap Dilema Pembelajaran Daring Selama Covid-19

Sebuah platform pendidikan tertentu bisa jadi berjalan optimal oleh seorang guru, namun hasil yang berbeda sangat mungkin terjadi

Penulis: Anggita Putri | Editor: Madrosid
Tribunpontianak.co.id/Anggita Putri
Penggiat Pendidikan Kalbar, Indra Dwi Prasetyo 

Karena pengalaman dan pengetahuan para pendidik berbeda-beda, proses dan hasil pembelajaran yang didapatkan bisa jadi berbeda.

Sebuah platform pendidikan tertentu bisa jadi berjalan optimal oleh seorang guru, namun hasil yang berbeda sangat mungkin terjadi jika platform yang sama diimplementasikan oleh guru lainnya.

Hal ini tidak lain diakibatkan oleh pengetahuan dan pengalaman yang berbeda dari para guru yang mengoperasikannya.

Karena pada prinsipnya, platform hanyalah alat yang sangat bergantung kepada siapa yang menggunakannya.

Terlepas dari masalah pengalaman dan pengetahuan para pendidik, kendala teknis tidak jarang menjadi faktor penghambat lainnya.

“Misalnya, pada daerah yang minim jaringan internet, sudah barang tentu virtual meeting berbasis real time menjadi barang langka jika tidak ingin disebut mustahil. karenanya, pembelajaran daring dengan metode ini jelas tidak dapat diduplikasi di wilayah yang memiliki jaringan internet terbatas,” ujarnya.

Jaringan internet bukan pula satu-satunya kendala teknis. Ketersediaan gawai (device) yang tersedia ditengah-tengah siswa juga merupakan masalah selanjutnya.

“Kita bisa saja berasumsi bahwa siswa-siswi di perkotaan memiliki laptop, atau setidaknya telepon pintar, namun bagaimana dengan siswa-siswi di daerah?,” ucapnya.

Persoalan menjadi semakin runyam ketika para pelajar tidak dapat mengakses pembelajaran di tempat lain, misalnya belajar berkelompok kepada temannya yang memiliki gawai, atau ke pusat penyewaan komputer/warnet. Hal ini tidak lain karena aturan physical distancing yang harus mereka patuhi.

“Melihat fenomena di atas, kita sadari atau tidak, menjadikan tekonologi sebagai alat yang superpower hari-hari ini. Dengan bahasa yang sedikit retoris, dapat kita katakan bahwa tanpa bantuan teknologi, sulit dilakukan pembelajaran ditengah wabah seperti ini. Teknologi tersebut tersebut meliputi TV, internet, aplikasi pendukung hingga telepon pintar,” jelasnya.

Peran teknologi pada level ini, jika merujuk pada Freire (1985) dalam “The Politics of Education”, dapat berfungsi sebagai mesin dominasi.

Dominasi yang dimaksud disini adalah ketika teknologi berperan sedemikian rupa hingga membentuk apa yang disebut dengan pengetahuan yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang mampu. Serta kebalikannya, tidak terjangkau oleh masyakarat yang kelas bawah (silence people).

Pada tahap ini, peran pemerintah sangat krusial untuk memastikan bahwa kebutuhan tekonologi setiap elemen masyarakat dapat terpenuhi secara baik dalam waktu yang relatif cepat.

Sebab jika tidak, perkawinan antara teknologi dan pendidikan seperti ini dapat menjadi “new normal” dimasa mendatang yang bisa jadi menegasikan posisi masyarakat kelas bawah yang tidak mampu untuk mengaksesnya. Ketika itu terjadi, pendidikan akan menunjukan wajahnya yang opresif dan berpihak.

Penggunaan teknologi pada pendidikan hari-hari ini, suka atau tidak, akan menjadi hal normal baru pendidikan kita dimasa mendatang.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved