Lion Air Jatuh
Arti Ante Mortem dan Post Mortem, Pengertian DVI Hingga Fungsi Kotak Hitam Pesawat
Bila korban tidak teridentifikasi maka tim DVI akan mendalami kembali dengan mencari ciri-ciri spesifik korban, seperti bentuk tato dan bekas luka.
Penulis: Marlen Sitinjak | Editor: Marlen Sitinjak
TRIBUNPONTIANAK.co.id/Marlen Sitinjak
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Pesawat Lion Air nomor penerbangan JT 610 yang jatuh ke laut hanya beberapa menit setelah lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno Hatta menuju Pangkal Pinang, Senin (29/10/2018) pagi WIB, mengguncang catatan keamanan penerbangan Indonesia.
Tragedi memilukan ini terjadi saat Indonesia baru saja dicabut larangan terbangnya oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Pesawat tersebut membawa 189 orang yakni 181 penumpang termasuk satu orang anak dan dua bayi, serta delapan kru.
Baca: Mantan Ketua PA Pontianak Jadi Korban Lion Air JT-610, Abang M Hasbi Kenang Sosok Rijal Mahdi
Sedangkan penerbangan dari Bandara Internasional Soekarno Hatta menuju Pangkal Pinang ditempuh selama 1 jam 10 menit.
Pihak Lion Air menyebut pesawat yang jatuh tersebut masih baru, yakni sekitar 800 jam terbang.
Tiga hari pasca-peristiwa itu, Basarnas, TNI dan semua pihak terkait termasuk relawan fokus mencari dan mengevakuasi korban dari laut Karawang, Jawa Barat.
Hingga Rabu (31/10/2018) siang, 49 kantong jenazah telah diserahkan ke tim Disaster Victim Investigation (DVI) Polri untuk kemudian mengumpulkan data antemortem dari pihak keluarga.
Tim juga terus menelusuri lokasi utama badan pesawat Lion Air JT 610 sekaligus mencari kotak hitam (black box).
Bagi Anda yang kurang familier dengan sejumlah istilah, bahasa asing, arti, tujuan serta fungsi alat terkait tragedi jatuhnya Lion Air JT 610, berikut penjelasannya yang kami rangkum dari berbagai sumber:
Disaster Victim Investigation (DVI)
DVI adalah suatu prosedur standar yang dikembangkan oleh Interpol (International Criminal Police Organization) untuk mengidentifikasi korban yang meninggal akibat bencana massal.
Proses DVI menggunakan bermacam-macam metode dan teknik.
Interpol telah menentukan adanya Primary Identifiers yang terdiri dari analisis sidik jari, rekam analisis kedokteran gigi forensik, dan analisis DNA.
Sedangkan Secondary Identifiers terdiri atas medical data (M), property (P) dan photography (PG).
Pada fase pertama, tim awal yang datang ke TKP melakukan pemilahan antara korban hidup dan korban mati selain juga mengamankan barang bukti yang dapat mengarahkan pada pelaku apabila bencana yang terjadi merupakan bencana yang diduga akibat ulah manusia.
Pada korban mati diberikan label sebagai penanda. Label ini harus memuat informasi tim pemeriksa, lokasi penemuan, dan nomor tubuh/mayat.
Label ini akan sangat membentu dalam proses penyidikan selanjutnya. (Pusponegoro, 2006; Mulyono, 2006; Interpol, 2014; DVI workshop, 2007)
Fase kedua dalam proses DVI adalah fase pemeriksaan mayat. Fase ini dapat berlangsung bersamaan dengan fase pertama dan fase ketiga.
Pada fase ini, para ahli identifikasi, dokter forensik dan dokter gigi forensik melakukan pemeriksaan untuk mencari data postmortem sebanyak-banyaknya.
Sidik jari, pemeriksaan terhadap gigi, seluruh tubuh, dan barang bawaan yang melekat pada mayat.
Dilakukan pula pengambilan sampel jaringan untuk pemeriksaan DNA. Data ini dimasukkan ke dalam pink form berdasarkan standar Interpol.
Fase ketiga adalah fase pengumpulan data antemortem dimana ada tim kecil yang menerima laporan orang yang diduga menjadi korban.
Tim ini meminta masukan data sebanyak-banyaknya dari keluarga korban.
Seseorang dinyatakan teridentifikasi pada fase keempat yaitu fase rekonsiliasi apabila terdapat kecocokan antara data Ante Mortem dan Post Mortem dengan kriteria minimal 1 macam Primary Identifiers atau 2 macam Secondary Identifiers. (Pusponegoro, 2006; Mulyono, 2006; Interpol, 2014; DVI workshop, 2007)
Ante Mortem dan Post Mortem
Untuk mengidentifikasi korban yang telah ditemukan, personel Disaster Victim Investigation (DVI) langsung mengumpulkan data antemortem dari pihak keluarga.
Proses antemortem adalah satu kegiatan dalam satu operasi DVI di mana untuk mengidentifikasi korban bencana diperlukan data dari korban bencana.
Data antemortem meliputi data-data fisik khas korban sebelum meninggal.
Mulai dari pakaian atau aksesoris yang terakhir kali dikenakan, barang bawaan, tanda lahir, tato, bekas luka, cacat tubuh, foto diri, berat dan tinggi badan, serta sampel DNA.
Berdasarkan protokol DVI Interpol, ada dua jenis data yang dapat digunakan untuk proses identifikasi, yaitu data primer dan sekunder.
Data primer ini syarat mutlak, harus ada dalam proses identifikasi, kalau sekunder hanya bersifat pelengkap.
Data primer terdiri dari tiga bagian, yaitu sidik jari, data pemeriksaan gigi, dan Deoxyribonucleic Acid (DNA).
Data sekunder merupakan data medis korban dan keterangan terakhir kondisi korban (pakaian yang digunakan atau asesoris yang dikenakan sebelum bencana).
Sasaran yang masuk ke dalam antemortem adalah keluarga atau orang terdekat dengan korban.
Khusus untuk pemeriksaan DNA, hanya pihak tertentu yang memiliki hubungan segaris dengan korban, seperti kedua orang tua dan anak yang bisa diambil sampelnya.
Kemudian Post Mortem merupakan data yang diambil setelah petugas berhasil menemukan dan mengevakuasi korban bencana.
Post Mortem menangani korbannya setelah meninggal atau data sesudah dia meninggal.
Data Post Mortem meliputi eperti sidik jari, golongan darah, konstruksi gigi dan foto diri korban pada saat ditemukan lengkap dengan barang-barang yang melekat di tubuhnya dan sekitarnya, bahkan termasuk isi kantong pakaiannya.
Setelah data ante mortem dan post mortem lengkap, maka tim DVI akan merekonsiliasi atau mencocokkan kedua data tersebut untuk mengidentifikasi korban bencana.
Rekonsiliasi itu mencocokkan data antemortem dan postmortem, hasilnya dua, yaitu teridentifikasi atau tidak.
Bila korban tidak teridentifikasi maka tim DVI akan mendalami kembali dengan mencari ciri-ciri spesifik korban, seperti bentuk tato dan bekas luka.
Waktu yang dibutuhkan untuk proses identifikasi ini tidak dapat ditentukan cepat lambatnya, seluruh proses tersebut tergantung dari kondisi jenazah saat ditemukan.
Jenazah sudah tidak dapat diidentifikasi manakala kondisinya sudah membusuk atau terbakar hingga kering.
Black Box
Kotak hitam atau black box adalah sekumpulan perangkat yang digunakan dalam bidang transportasi - umumnya merujuk kepada perekam data penerbangan (flight data recorder; FDR) dan perekam suara kokpit (cockpit voice recorder; CVR) dalam pesawat terbang.
Fungsi dari kotak hitam sendiri adalah untuk merekam pembicaraan antara pilot dan pemandu lalu lintas udara atau air traffic control (ATC) serta untuk mengetahui tekanan udara dan kondisi cuaca selama penerbangan.
Walaupun dinamakan kotak hitam tetapi sesungguhnya kotak tersebut tidak berwarna hitam tetapi berwarna jingga (oranye).
Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pencarian jika pesawat itu mengalami kecelakaan.
Penempatan kotak hitam ini dilakukan sedemikian rupa sehingga mudah ditemukan.
Umumnya terdapat dua unit kotak hitam yang terdiri dari Cockpit Voice recorder (alatperekam suara di ruang kemudi pilot) dan Flight data recorder (alat rekam data penerbangan).
Di era abad ke-20 pabrik elektronik ini menggabungkan kedua alat ini yang kemudian populer sebagai nama Combi Box Recorder yaitu combinasi dari data dan suara.
Kedua alat tersebut memiliki pemantauan fungsi dari ruang kemudi, namun data rekaman yang terletak pada recorder data tersebut umumnya diletakkan pada bagian ekor pesawat, yang pada umumnya merupakan bagian yang utuh ditemukan serta mudah terlepas dari struktur pesawat utama.
Setelah banyaknya kejadian kecelakaan pesawat maka ICAO mengeluarkan rekomendasi baru dimana perusahaan penerbangan wajib mengimplementasikan Aircraft Tracking System. (*)