M Nabil dan M Ridwan Tak Hadir, JPU Bacakan Keterangan Keduanya di Sidang ke -9 Tipikor Alkes

Saat tahapan pemilihan penyedia, Siti menambahkan prosesnya tidak berjalan sebagaimanamestinya.

Penulis: Jimmi Abraham | Editor: Jamadin
TRIBUN PONTIANAK/DESTRIADI YUNAS JUMASANI
Sidang lanjutan pemeriksaan saksi kasus korupsi alat kesehatan RS Sultan Syarif Mohammad Alkadrie di Pengadilan Tipikor Pontianak, Jalan Uray Bawadi, Pontianak, Kalimantan Barat, Selasa (17/4/2018) pukul 11.00 WIB. Sunarso yang merupakan kepala cabang PT Merapi Batam dihadirkan memberikan kesaksian pengiriman alat kesehatan. 

Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Rizky Prabowo Rahino

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK – Dua orang saksi memberikan keterangan dalam sidang kesembilan perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) ‎Pengadaan Alat Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah (Alkes RSUD) Sultan Syarif Mohamad Alkadrie Kota Pontianak Tahun Anggaran 2012 digelar di Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri (PN) Pontianak, Jalan Urai Bawadi, Kota Pontianak, Selasa (17/4/2018) siang.

Dua saksi itu yakni Kepala Cabang PT Merapi Utama Sunarso dan pegawai Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Siti.

Mereka memberikan kesaksian dalam sidang beragenda pemeriksaan saksi-saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam proyek yang mengakibatkan kerugian senilai Rp 13.419.616.000 berdasarkan audit BPK RI dari pagu anggaran sebesar Rp 35 miliar.

(Baca: Wow! Buku Anak Indonesia Diminati di Pameran Buku London, Ini Isinya )

Ketiga terdakwa juga dihadirkan yakni pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Yekti Kusumawati, Pemilik PT Bina Karya Sarana sekaligus Direktur PT Mitra Bina Medika Suhadi dan Direktur Utama PT Bina Karya Sarana Sugito.

Sementara itu, dua saksi tersisa yakni M Nabil dan M Ridwan Raziq tidak hadir karena sakit. Otomatis, kesaksian keduanya dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi (JPU Kejati) Kalbar.  Sebelumnya, pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) sudah melakukan upaya pemanggilan sidang dan menyurati sebanyak empat kali.

Sementara itu, sidang kesembilan hanya dihadiri oleh dua saksi yang memberikan kesaksian yakni Kepala Cabang PT Merapi Sunarso dan pegawai Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Siti.

(Baca: Direktur RSUD Landak Harap Training BTCLS Bisa Tingkatkan Pelayanan )

Dalam persidangan, saksi kedua dari BPK RI Siti mengakui dirinya menjadi Ketua Tim pemeriksa atas perhitungan kerugian negara dalam proyek bersumber dari dana alokasi APBN melalui Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) untuk Dinas Kesehatan Kota Pontianak.

“Dalam pemeriksaan diturunkan tim khusus. Kerugian negara dihitung menggunakan metode real cost yaitu selisih antara netto pembayaran atas pekerjaan dikurangi dengan nilai riil barang yang diterima oleh Pemkot Pontianak,” ungkapnya.

Siti menambahkan nilai riil barang yang diterima dihitung berdasarkan pembayaran oleh PT Bina Karya Sarana selaku pemenang lelang kepada para supplier atau distributor termasuk biaya pengiriman ditambah dengan selisih pembelian PT Cipta Varia Kharisma Utama dan selisih harga perbedaan spesifikasi alat kesehatan.

(Baca: Panglima TNI Siap Dukung Pemerintah Clean Goverment dan Good Governance )

“Sementara itu, Dinas Kesehatan Kota Pontianak bayar langsung ke PT Bina Karya Sarana sesuai Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D),” jelasnya.

Siti menimpali kerugian negara dalam proyek ini yang dihitung dan dituangkan dalam Laporan penghitungan kerugian negara BPK RI adalah Rp 13.419.616.000. Ia memaparkan setidaknya ada tiga pelanggaran yang dijadikan temuan oleh pihaknya yakni saat tahap persiapan pengadaan, tahap pemilihan penyedia dan tahap pelaksanaan kontrak.

Di tahap persiapan pengadaan, BPK RI mengambil kesimpulan pemeriksaan bahwa pengadaan proyek ini dilakukan terburu-buru. Sebelum ditetapkan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), terdakwa Yekti Kusumawati telah membuat Harga Perkiraan Sendiri (HPS).  

“Sebelum jadi PPK, terdakwa Yekti sudah membuat HPS. Kami konfirmasi, Bu Yekti mengatakan HPS didapatkan dari hasil penyalinan brosur yang didapatkan dari Kepala Dinas Kesehatan saat itu yakni dr Multi Junto Bhatarendro. Tidak logis jika satu hari saja HPS jadi, apalagi barangnya beragam dan ada 288 item. Setiap item bisa lebih dari satu unit,” paparnya.

Pihaknya juga mendapatkan pengakuan bahwa brosur yang diberikan oleh Kadiskes Pontianak bersumber dari CV Kharisma Utama. PPK menjadikan brosur itu sebagai dasar pembuatan HPS terkait spesifikasi teknis.

“PPK hanya menyalin brosur PT Kharisma Utama itu dan sama persis. PPK tidak melakukan survey terhadap perusahaan penyediaan alat kesehatan. Hanya berdasarkan brosur Kepala Dinas dan tidak survey. Saat kami konfirmasi ke PT Kharisma Utama, ternyata benar brosur mereka,” imbuhnya.

Saat tahapan pemilihan penyedia, Siti menambahkan prosesnya tidak berjalan sebagaimanamestinya. Di dalam dokumen pengadaan seharusnya sudah jelas bahwa ada ketentuan yang menyebutkan harus ada jaminan penawaran.

“Namun dari perusahan yang mengajukan tidak ada jaminan. Yang daftar 59 perusahaan, yang masukkan penawaran hanya tiga yakni PT Bina Karya Sarana (BKS), CV Multico dan PT Fanda. Kemudian, panitia tidak membuat kertas kerja untuk evaluasi. Kami menilai seperti ada pengaturan pemenang lelang proyek ini,” timpalnya.

Pelanggaran itu berlanjut pada tahapan pelaksanaan kontrak. Pemenang lelang yakni PT BKS tidak bisa memenuhi dan menyediakan alkes, sehingga meminta dukungan penyediaan dari perusahaan lain.

“Paling utama adalah PT Kharisma Utama yang mempunyai jaringan dan membantu PT BKS kaitannya dengan penyediaan surat dukungan,” ujarnya.

Berdasarkan pemeriksaan, BPK RI juga menemukan ada tiga barang alkes yang spesifikasinya tidak sesuai kontrak kendati fungsinya sama. Namun, barang itu berfungsi baik. Ia menegaskan BPK RI tidak tahu terkait aliran dana kerugian negara itu, karena hanya mendapat mandat menghitung kerugian negara.

“Kami tidak tahu aliran dana itu kemana saja. Kami tegaskan bahwa pengadaan harus mendapatkan harga terbaik sesuai kualitas barang. Jika tidak melakukan pengadaan dengan cara benar sesuai aturan, maka perusahaan tidak layak mendapat keuntungan,” terangnya.

Ketika ditanya Majelis Hakim terkait informasi lonjakan dana APBN dari Rp 19 Milyar lebih menjadi Rp 35 Milyar dalam proyek ini, Siti mengatakan tidak tahu menahu namun pernah medengan informasi itu.

“Kami hanya mendalami kerugian negara dalam proyek bernilai Rp 35 Miliar ini. Kami tidak mendalami prosesnya bagaimana bisa melonjak dari angka sebelumnya yakni Rp 19 Milyar,” tandasnya. 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved