Kabut Asap Karhutla, Ini Tanggapan WALHI Kalbar
Celakanya, secara regulasi satu wilayah kemudian di sebut sebagai darurat bencana ketika emergency response sudah ramai.
Penulis: Jimmi Abraham | Editor: Dhita Mutiasari
Dari tahun 2015 sampai kita masuk ke 2018, boleh dikatakan ketika berbicara masalah kebakaran, masyarakat belum menganggap itu masalah mereka, tapi itu masalah pemerintah.
Hal berbeda ketika edukasi, kesadaran publik dan partisipasi publik sudah ada. Maka masyarakat akan berpikir kebakaran adalah masalah mereka.
Mereka juga akan merasa rugi karena kebakaran menghancurkan wilayah hidup dan budidaya mereka.
Ketiga,kita sepakat saja bahwa proses penegakkan hukum itu harus dilakukan.
Dari dulu kita berteriak soal lemahnya penegakkan hukum dilakukan oleh aparat penegak hukumterkait kejahatan karhutla.
Tapi kita juga tidak mau aparat keamanan dan kepolisian takut dengan perusahaan.
Lalu, kebakaran yang terjadi di lahan konsensi perusahaan tidak bisa diurus serta sekedar memenuhi target harus ada yang dihukum.
Lalu petani kecil, orang bakar sampah yang kemudian ditangkap atau dikriminalkan. Itu yang kita kritik dari dulu.
Penegakkan harus dilakukan dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung maka kearifan lokal masyarakat harus dihormati.
Target pemerintah harus kepada perusahaan-perusahaan yang sengaja membakar untuk proses land clearing atau membersihkan lahan.
Sejarah Kalbar itu, kebakaran besar disebabkan oleh perusahaan dan itu bisa di-Tracking di lapangan dimana bekas-bekas kebakaran menjadi kebun sawit semua.
Dalam konteks ini kita juga menolak seolah-olah masyarakat lah yang jadi penyebabnya.
Patroli tentara bersenjata masuk keluar kampung melarang orang bakar ladang. Kemudian orang yang bakar ladang dibom air melalui helikopter.
Tetapi kebakaran yang dilakukan oleh perusahaan tidak diurus-urus.
Pengalaman tahun 2015 itu ada empat perusahaan di Kalbar yang sudah disidik menjadi tersangka, masuk pengadilan namun hingga kini belum ada kabar.