Pasien DBD Meninggal, Rahman: Kita Harapkan Kasus Ini Tak Terulang
Saya minta ambulans, mereka bilang ambulans sudah siap tetapi harus bayar, ya aku bayar, dan dibawa ke Mempawah
Penulis: Dhita Mutiasari | Editor: Jamadin
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Dhita Mutiasari
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, MEMPAWAH - Sudah lebih dari 2 pekan berlalu sejak kepergian putra sulungnya Habib Muhammad Rahul (12) , namun rasa pilu dan kesedihan masih terpancar jelas diwajah Habib Abdul Rahman (44) warga yang tinggal di barak pengungsi Surya Bina jaya RT 21 RW 01 Desa Anjongan Melancar Kecamatan Anjongan Kabupaten Mempawah.
“Sudahlah, saya harap ini kejadian yang terakhir kalinya disini, mungkin anak aku sudah waktunya, jangan ada menelan korban lainnya lagi akibat wabah DBD ini, ”ungkap ayah Rahul, Abdul Rahman kepada Tribun, Kamis (27/4).
Dia berharap kepada pemerintah daerah melalui dinas terkait lebih pro aktif dalam turun ke lapangan dan memberikan solusi kepada masyarakat awam ini terkait antisipasi merebaknya wabah DBD diwilayah ini.
“Sejak meninggalnya anak saya, baru ada satu kali yang melakukan fooging itupun dari Muhammadiyah,” ungkapnya.
Rahul putra sulung pasangan Abdul Rahman (44) dan Fitriani (32) diduga meninggal dunia akibat gejala demam berdarah dengue (DBD) yang dialaminya beberapa waktu lalu hingga nyawanya tak tertolong lagi 10 April lalu. Saat ditemui dikediamannya, Abdul Rahman masih terisak menceritakan kronologis putra sulungnya ini meninggal.
Ia mengatakan awalnya putranya yang masih duduk dikelas VI SD ini hanya menderita gejala demam biasa saja. “Hanya sejak Kamis (6/4).”Awalnya hanya demam-demam sedikit saja dan hilang, kemudian demam hilang, sehingga mulai hari Kamis, saya bawa berobat ke pak Marsono, Jumat, Sabtu dan Minggu berobat lagi dengan dr Niken Anjungan jam 2 sore,”ujarnya.
Kemudian hingga malam harinya Rahul dikatakannya masih sempat bermain-main dengan adiknya dan berjalan-jalan hingga shalat seperti biasa. “Bahkan salat magrib bersama-sama, setelah itu mandi dan main lagi, nonton tv,”ujarnya.
Namun ia mengatakan malam harinya jam 12 malam, Rahul terbangun dan mengatakan akan buang air kecil, namun ia mengaku matanya sudah gelap.
Sempat dipapah oleh ayahnya ke kamar kecil kendati ia mengaku bisa berjalan sendiri. Hingga kemudian Rahul mengaku haus dan diambilkan air oleh sang ayah. Namun merasa khawatir, ia sempat berpikir akan membawa Rahul ke rumah sakit saat itu juga. Namun lantaran tidak ada kendaraan hingga ia harus menangguhkan untuk membawa anaknya pagi harinya tepatnya Senin (10/4/2017) ke puskesmas Anjongan.
“Lalu pakai motor, aku tanya dek bisa duduk diatas motor tidak, dia bilang aku bisa pak,”ujarnya.
Hingga akhirnya tiba di puskesmas namun Rahul mengaku sudah gemeteran. “Setelah sampai, perawat bilang agar cek darah, langsung ditangani cek darah, pakai infus dan oksigen,” tambahnya.
Kemudian oleh tim medis, Rahul dinyatakan kritis dan dinyatakan harus dibawa ke rumah sakit. Namun saat itu ia bingung mau membawa anaknya ke rumah sakit hingga langsung ditawarkan ambulans oleh puskesmas.
“Saya minta ambulans, mereka bilang ambulans sudah siap tetapi harus bayar, ya aku bayar, dan dibawa ke Mempawah,”ujarnya. Hingga setiba di RSUD dr Rubini Mempawah sekitar jam 09.00 WIB. “Saya disuruh beli infus dan obat,”ujarnya.
Namun ia mengatakan dari dibeli obat yang disuruh beli oleh dokter hingga jam 02.00 WIB tidak juga diminumkan ke Rahul.
“Setelah itu kan saya sudah sibuk membeli perlengkapan celana kain selimut, pampers dan keluar masuk rumah sakit,”ujarnya.
Hingga akhirnya jam 12.00 siang ia dikabari rumah sakit bahwa anaknya kritis dan tidak bisa ditangani rumah sakit dan perlu ICU. “Oke aku bilang kalau masuk ICU aku siap bayar,”ujarnya.
Namun hingga hingga 2 jam berikutnya anaknya tak juga dimasukkan ke ICU. “Sampai marah kenapa anak saya tidak ditangani cepat padahal saya sudah bayar lunas jam 12.30 WIB, kenapa anak saya belum ada surat rujukan, kok masih belum ditangani sampai aku bilang aku ada hutangkah,”ujarnya.
Begitu pula setelah ia marah baru obatnya diminumkan. “Kemudian ditunggu lagi jam 14.48 aku marah, baru jam 14.52 WIB baru naik ambulans,”ujarnya. Hingga pukul 15.10 WIB anaknya bernafas terakhir kalinya saat perjalanan ke rumah sakit di Pontianak berdasarkan rujukan.
“Itu tiga jam surat rujukan belum juga dibuatkan dan saya beli sirup itu sampai jam 14.00 belum diminumkan,”ujarnya.
Kendati berupaya tegar dan ikhlas dengan kepergian putra kesayangannya, namun ia masih mengeluhkan lambannya penanganan medis kepada putranya.
“Itulah yang aku bilang mereka kenapa anak aku ditanganinya lambat, namun sudahlah aku ikhlas mungkin anak aku sudah panggilan dia,”tuturnya.
Sementara itu warga lainnya Selano menuturkan di wilayah barak pengungsian yang mereka tempati ini memang rawan DBD. “Untuk bulan ini saja satu orang meninggal dan 1 orang saat ini sedang dirawat di RSUD dr Soedarso Pontianak,”ujarnya.
Dikatakannya, di wilayah ini sedikitnya ada 172 KK dengan lebih dari 700 jiwa. Namun sekitar 25 persen warga dikatakannya sudah mengalami sakit-sakitan dengan gejala serupa DBD. Namun dikatakan warga disini bingung untuk berobat. Hingga ia berharap dinas kesehatan Kabupaten Mempawah dapat turun langsug ke masyarakat dalam antisipasi DBD ini.