Antara Paham Radikalisme dan Pancasila
Pancasila sebagai kolektivitas bekerja memisahkan demos dari non-demos, moderat dari radikal.
Dia adalah arena bagi keputusan dan bukan kesepakatan.
Politik adalah keputusan eksistensial tentang siapa ”kami” dan siapa ”mereka”. Kedua keputusan tersebut sama pentingnya.
Sebab, tanpa mengetahui siapa ”mereka”, ”kami” juga tidak dapat sepenuhnya tersusun.
Tanpa pemahaman tentang siapa itu ”kelompok fundamentalis”, ”kelompok moderat” tidak dapat menjelaskan dirinya.
”Mereka” adalah yang mempertanyakan identitas ”kami” dan mengancam eksistensinya.
Politik berlangsung ketika ”kelompok moderat” berhadapan secara frontal dengan ”kelompok fundamentalis”.
Materialisasi demokrasi juga berkontribusi menyulut radikalisme.
Materialisasi demokrasi adalah kondisi semakin relativistiknya demokrasi sebagai akibat etika toleransi yang dikembangkan liberalisme.
Dalam konteks etika toleransi liberal tidak ada yang tidak diakomodasi.
Politik menjadi silang pendapat belaka tanpa kriterium demorkasi yang mampu menggaris yang benar dari yang keliru.
Demokrasi pun sekadar persoalan siapa yang menguasai opini publik. Opini publik tidak diukur berdasarkan benar atau salah, tetapi ada atau tiadanya pengikut.
Di bawah terang demokrasi material, kelompok fundamentalis dapat memenangkan opini publik dan meraih dukungan secara perlahan tetapi pasti.
Absennya konfrontasi di dalam demokrasi liberal turut berkontribusi pada proyek politik kaum fundamentalis.
Kaum fundamentalis dapat meraih dukungan dengan menyebar kebencian terhadap Barat atau kaum moderat (yang dituduh) kaki tangan Barat.
Opini publik pun direbut dengan mengatasnamakan kondisi ekonomi umat yang terpuruk.