Wah! Prostitusi di Yogyakarta Pakai Korek Api, Tarifnya Hanya Rp 10 Ribu
Dengan satu batang korek api tersebut, Jarwo ditawari kesempatan melihat bagian kewanitaan Diah.
Wregas bekerja sama dengan model untuk mendapat gambar tersebut.
Karena menurutnya film adalah refleksi kehidupan nyata, bukan imitasi, itu yang ingin ia sampaikan kepada penontonnya.
Bukan berarti tidak ada kekhawatiran akan dianggap vulgar atau porno, karena memang film ini bukan ditujukan untuk itu.
Namun lebih sensitif pada keterkaitan antara feminisme, budaya dan situasi ekonomi yang dialami perempuan.
"Kalau yang saya kahawatirkan justru bukan pemerintah. Tapi ketika film ini semakin kuat diberitakan, justru malah ormas-ormas yang ribut. Mengira film ini porno karena memperlihatkan alat kelamin," ujarnya.
Ia mengakui film ini bukan yang bisa dinikmati penonton Indonesia dengan budaya ketimurannya yang kental, justru cenderung Eropa sebagai pasar filmnya.
Sehingga ia tidak memaksakan filmnya harus ditonton di sini.
"Saya tidak memaksakan orang untuk menonton film saya. Ini memang lebih cocok untuk pasar Eropa dibanding Indonesia. Suka atau tidak itu tergantung selera yang menonton," tutur Wregas.