Wah! Prostitusi di Yogyakarta Pakai Korek Api, Tarifnya Hanya Rp 10 Ribu
Dengan satu batang korek api tersebut, Jarwo ditawari kesempatan melihat bagian kewanitaan Diah.
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, DENPASAR - Tahun 1980-1990-an, korek api tidak sekadar berfungsi sebagai alat penerang di Alun-alun Yogyakarta.
Kala itu, korek api difungsikan sebagai media praktik prostitusi. Sebutlah Diah, tokoh perempuan dalam film Kisah Prostitusi Korek Api yang berdurasi 12 menit ini.
Dalam situasi ekonomi yang sulit saat itu, ia membutuhkan uang segera.
Kepada temannya, Jarwo, ia menawarkan korek api. Tujuannya agar Jarwo bisa melihat alat vitalnya. Diah menjual sebatang korek api seharga Rp 10 ribu.
"Ini korek api, sebatang aku jual Rp 10 ribu," ujar Diah dalam dialog berbahasa Jawa.
Dengan satu batang korek api tersebut, Jarwo ditawari kesempatan melihat bagian kewanitaan Diah.
Dengan melepas celana dalam, secara tersirat, Diah mengarahkan Jarwo ke bawah meja.
"Boleh dilihat, tapi tidak boleh disentuh," lanjut Diah.
Hingga kemudian Jarwo mengambil kesempatan tersebut, dengan sebatang korek api yang ia nyalakan di bawah meja untuk melihat barang pribadi milik Diah.
Tentu nyala sebatang korek api tidak seberapa lama.
"Prenjak ini jenis burung yang hanya mau berkicau ketika ada pasangannya. Kalau sendiri dia diam. Seperti Diah yang ditinggalkan pasangannya, dia harus bekerja keras dan ekstra.
Kalau pasangannya tidak meninggalkannya, mungkian Diah tidak perlu menderita seperti itu, bisa berkicau bersama," tutur Wrega.
Menang Festival Film Cannes 2016
Ini juga salah satu yang mengantarkan Wregas menjadi pemenang Festival Film Cannes 2016 dengan kategori film pendek di Festival Film Cannes 2016, di Perancis.
Adegan demi adegan dibuat nyata. Baik itu scene yang menunjukkan alat kelamin sekalipun, walau bukan milik pemeran di film tersebut.
Wregas bekerja sama dengan model untuk mendapat gambar tersebut.
Karena menurutnya film adalah refleksi kehidupan nyata, bukan imitasi, itu yang ingin ia sampaikan kepada penontonnya.
Bukan berarti tidak ada kekhawatiran akan dianggap vulgar atau porno, karena memang film ini bukan ditujukan untuk itu.
Namun lebih sensitif pada keterkaitan antara feminisme, budaya dan situasi ekonomi yang dialami perempuan.
"Kalau yang saya kahawatirkan justru bukan pemerintah. Tapi ketika film ini semakin kuat diberitakan, justru malah ormas-ormas yang ribut. Mengira film ini porno karena memperlihatkan alat kelamin," ujarnya.
Ia mengakui film ini bukan yang bisa dinikmati penonton Indonesia dengan budaya ketimurannya yang kental, justru cenderung Eropa sebagai pasar filmnya.
Sehingga ia tidak memaksakan filmnya harus ditonton di sini.
"Saya tidak memaksakan orang untuk menonton film saya. Ini memang lebih cocok untuk pasar Eropa dibanding Indonesia. Suka atau tidak itu tergantung selera yang menonton," tutur Wregas.