Aku, Anakku dan Thalasemia
ia bersama suami harus bolak-balik Pontianak-Jakarta membawa Bayu berobat. Hingga ia harus mengeluarkan biaya hampir 9 juta setiap bulannya...
Penulis: Anesh Viduka | Editor: Mirna Tribun
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Anesh Viduka
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID,PONTIANAK - Entah apa yang ada dibenak Bayu Michael Candra, remaja berusia 18 tahun penderita thalasemia, dia tampak begitu tegar, bahkan ia tidak ingin orang tuanya memperlakukannya layaknya orang yang sedang sakit.
“Satu sisi saya ingin memperlakukan dia layaknya anak normal tapi sebagai seorang ibu saya tetap tidak bisa membiarkan dia bermain kayak anak-anak normal seusianya seperti main futsal dan melakukan aktivitas sesuka dia. Dia pengen enggak dilarang itu ini. Kesehariannya seperti anak-anak seusianya, berkegiatan, kebetulan dulunya dia senang main futsal, padahal udah dilarang jangan ikut futsal, tapi tetap aja dia curi-curi main futsal, karena enggak boleh capek, kalau udah capek Hb nya drop, makanya saya larang," ujar Ati (46) saat menemani anak ke tiganya itu melakukan transfusi darah di ruangan thalasemia RSUD dr Soedarso, Pontianak,Kalimantan Barat.
Pagi itu, bersama empat thaller (sebutan untuk penderita thalasemia) Bayu malakukan transfusi darah. Setiap bulan nya Bayu membutuhkan tiga kantong darah.
Untuk bertahan hidup, thaller harus menjalani transfusi rutin setiap bulan sepanjang hidupnya.
Penderitaan Bayu berawal sejak 18 tahun silam, ketika ia terserang penyakit campak saat usianya belum menginjak satu tahun, hingga Hb nya turun drastis. Hingga akhirnya dibawa ke satu di antara rumah sakit di kota Pontianak.
"Dulu waktu Bayu usia nya belum setahun dia sering demam, dikit-dikit sakit. Puncaknya kena campak,kemudian di cek laboratorium hb nya rendah. terus dokter yang nangani bilang kalau Bayu kemungkinan mengidap thalasemia, saya enggak tau itu thalasemia apa," kenang Ati.
Hingga beberapa bulan berlalu, kondisi Bayu lebih buruk dari sebelumnya, ia pun kembali dibawa ke rumah sakit, dicek Hb nya dan hasilnya lebih rendah dari sebelumnya.
Menurut dokter bahwa Bayu kekurangan sel darah merah, akhirnya Ia pun menjalani transfusi darah untuk pertama kalinya, saat itu usia Bayu baru menginjak 11 bulan.
Hingga akhirnya Bayu dibawa ke jakarta, dan dilakukan screening thalasemi, Dijelaskan dokter khusus hematologi yang pada saat itu menangani Bayu bahwa Bayu mengidap penyakit kelainan darah, termasuk penyakit genetik.
Bayu pun positif menderita thalasemia, penyakit kelainan darah yang mesti rutin transfusi darah sepanjang hidupnya.
"Mendengar thalasemia saya bingung, penyakit apa itu, kemudian dijelaskan sama dokter, bahwa thalasemia pada anak karena perkawinan orang tua yang dua-duanya mengidap anemia, jadi kalau gen anemia dari istri ketemu gen anemia nya suami baru jadi thalasemia, kalau misalnya sepasang suami istri ini anemianya cuma satu, kemungkinan besar anak yang dilahirkan tidak terkena thalasemia," jelas Ati.
Diceritakan Ati, waktu itu sebelum ada perhimpunan orang tua penderita thalasemia Kalbar seperti saat ini, ia bersama suami harus bolak-balik Pontianak-Jakarta membawa Bayu berobat. Hingga ia harus mengeluarkan biaya hampir 9 juta setiap bulannya untuk biaya berobat bayu.
“Jika ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit thalasemia, kalau benar itu menjamin sembuh, berapapun harganya kalau saya masih mampu, akan saya beli,apa sih yang enggak dilakukan orang tua untuk anak," kata Ati.
Hingga tahun 2007, terbentuklah Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia Kalbar.
Semenjak itulah ada ruangan thalasemia, dimana saat itu pasien thalasemia ditanggung oleh yayasan Thalasemia Indonesia.
Bagaimana kelanjutan perjuangan Ati supaya sang anak tetap sehat? BACA SELENGKAPNYA DI EDISI CETAK TRIBUN PONTIANAK EDISI BESOK, JUMAT (16/9/2016).
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/pontianak/foto/bank/originals/bayu-michael-candra_20160915_175458.jpg)