Opini
Gawai dan Nasib Perladangan Manusia Dayak
Penyelenggaraan Gawai maupun sebutan lainnya melalui modifikasi di berbagai level justeru terkesan menafikkan keselarasan relasi antara harapan.
Oleh: Hendrikus Adam (1)
Musim gawai tiba dan semarak ucapan syukur masyarakat Dayak menggema di berbagai wilayah Kalbar khususnya. Pada sejumlah tempat ucapan syukur atas atas hasil pertanian padi bahkan telah usai dan ada pula yang baru akan segera dilaksanakan. Mengenang gawai kali ini, mengingatkan penulis pada pernyataan Bapak Adrianus Asia Sidot beberapa waktu lalu.
Tanggal 19 April 2015 pukul 17.52 Wib, Bupati Landak tersebut melalui akun facebook pribadinya menyampaikan pesan tidak biasa mengenai penyelenggaraan jelang pesta syukur panan padi (Gawai) masyarakat Dayak Kanayatn yakni Naik Dango. Status di facebook tersebut direspon beragam oleh sejumlah pengguna jejaring sosial. Umumnya memberi dukungan secara moral atas pernyataan beliau. Melalui jejaring akun facebook dengan nama Adrianus Asia Sidot, beliau menyampaikan pernyataan sebagai berikut;
"Saya berusaha agar Naik Dango XXX tahun 2015 di Ngabang menjadi Naik Dango yang bermartabat dan mengembalikan kemurnian Budaya Dayak. Tak Peduli dengan ancaman para preman yang mengatasnamakan budaya Dayak, yang memelihara judi, miras, narkoba dan prostitusi yang berkedok Jonggan. Saya takkan gentar menghadapi mereka sekalipun hanya saya sendiri."
Secara langsung, pernyataan Adrianus Asia Sidot menyiratkan sejumlah pesan gamblang dan hal ini dapat dipahami. Beliau misalnya berkeinginan agar Naik Dango yang akan digelar tidak sekadar mengatasnamakan budaya Dayak yang diwarnai dengan perjudian, miras, narkoba dan hiburan yang tidak sehat (berkedok jonggan). Selain itu, pernyataan Adrianus Asia Sidot menyiratkan kesan adanya "ancaman" dari sejumlah oknum yang tidak sejalan dengan keinginan beliau.
Secara singkat, dalam bahasa yang sederhana melalui pernyataan tersebut, Adrianus Asia Sidot ingin menyampaikan bahwa judi, miras, narkoba dan hiburan tidak sehat di ajang Gawai Naik Dango yang selama ini bukan warna asli dari kehidupan manusia Dayak.
Dengan kata lain, pernyataan beliau mengkonfirmasi bahwa perjudian, miras, narkoba dan hiburan tidak sehat lainnya bukan bagian dari budaya Dayak. Jadi pengembalian kemurnian budaya bermartabat menurut beliau yang kini menjabat sebagai Bupati Landak dapat dipahami sebagai usaha "memurnikan" agar persepsi tentang gawai tidak cenderung negatif.
Apa yang disampaikan beliau tentu sangat logis sehingga layak diapresiasi. Terlebih selama ini, tidak banyak pihak yang cukup berani bersuara lantang terkait dengan sejumlah fenomena "menyimpang" yang masih kerap menghiasi acara gawai sebagaimana dimaksud.
Dengan demikian, kemurnian Budaya Dayak melalui Gawai Naik Dango bermartabat sebagaimana tersirat dalam pernyataan Adrianus Asia Sidot adalah Naik Dango yang (diharapkan) bebas dari keempat hal yakni perjudian, miras, narkoba dan hiburan lainnya yang menyimpang dari adat kebiasaan manusia Dayak. Tentu pernyataan keinginan memurnikan budaya hanya akan bermakna dan berbuah bila disertai komitmen tindakan, bukan pernyataan politis semata. Hemat penulis, tentu saja apa yang diucapkan Adrianus Asia Sidot serius. Semoga pula konsisten.
Dengan semangat seperti yang dicita-citakan Adrianus Asia Sidot dimaksud, maka pantas menjadi refleksi kita bersama; sudahkah gawai yang dilaksanakan selama ini terbebas dari sejumlah bentuk kegiatan maupun berbagai hiburan tidak sehat? Selain itu, sudahkah hakikat pesta syukur atas hasil pertanian padi pada masa kini sungguh selaras dengan dasar filosofis Gawai Manusia Dayak sejati?
Memaknai Gawai
Ada beragam sebutan khusus tentang pesta syukur atas panen padi pada komunitas masyarakat Dayak. Naik Dango misalnya, dari sisi istilah berakar dari bahasa Dayak Kanayatn yakni naik/menaiki sebuah dango (pondok) untuk menyimpan hasil pertanian ladang (padi) bagi masyarakat Dayak.
Komunitas masyarakat Dayak biasanya menyimpan hasil panen berupa padi dan sembari menanti waktu untuk mengawali pertanian baru maka digelarlah ritual adat guna memanjatkan doa agar hasil panen menjadi berkat bagi semua. Pada momentum upacara ritual adat Naik Dango, masyarakat Dayak mengadakan doa syukur, makan bersama dan saling mengunjungi antar sanak saudara. Naik Dango dalam tradisi masyarakat Dayak menyiratkan relasi dan jalinan silaturahmi antar sesama. Karenanya selain sebagai bentuk syukur dan mohon restu kepada Tuhan, juga sebagai pertanda penutupan tahun peladangan dan penguat hubungan persaudaraan (solidaritas).
Naik Dango biasanya diselenggarakan pada saat usai masa panen padi dan atau sebelum memulai pertanian ladang baru. Karenanya peristiwa ini juga sebagai pertanda awal dan akhir siklus pertanian ladang. Naik Dango dalam hal ini umumnya dimaknai sebagai pesta ungkapan syukur masyarakat Dayak kepada Sang Pencipta atas hasil pertanian padi ladang yang melimpah, sekaligus menggambarkan suatu harapan agar panen berikutnya juga lebih baik.
Dari sisi historis, pesta panen padi dan sejenisnya bagi komunitas masyarakat Dayak telah lama dilakukan dengan berbagai sebutan seperti naik dango, roah, ngabayotn, nyamaru, Nyelepat Taun, gawai nosu minu podi, dan lain sebagainya. Pelaksanaan ucapan syukur tersebut dilakukan selaras dengan kegiatan berladang yang masih hidup dan biasanya ditandai dengan tersedianya lahan yang memadai untuk pertanian ladang komunitas kala itu.
Namun demikian, dalam perjalanannya, kini perayaan ucapan syukur tersebut terus diberkembang dengan "modifikasi" modern serta dikembangkan dalam lingkup yang luas (luar komunitas) pada berbagai level wilayah tingkat kecamatan dan kabupaten, juga propinsi. Pada tingkat provinsi dikenal dengan sebutan umum Gawai dan dalam perkembangannya dikenal dengan Pekan Gawai Dayak (Pada tahun 2015, beberapa waktu lalu sudah digelar di Rumah Radakng). Modifikasi atas gawai tersebut bila dicermati lebih berfokus pada upaya apresiasi potensi sumberdaya dan pelestarian seni maupun budaya semata. Dalam kemasan modern yang dimodifikasi tersebut, pesta Gawai (dalam hal ini Naik Dango) sendiri mulai dilakukan sejak tahun 1986, sekitar 30 tahun lalu.