Opini

Gawai dan Nasib Perladangan Manusia Dayak

Penyelenggaraan Gawai maupun sebutan lainnya melalui modifikasi di berbagai level justeru terkesan menafikkan keselarasan relasi antara harapan.

Editor: Stefanus Akim
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/ANESH VIDUKA
RITUAL - Para Panitia Pekan Gawai Dayak ke-30 menggelar acara ritual Muang Daukng Bonos ( Ritual adat penutupan gawai), di rumah radakng, Jl St Syahrir, Pontianak, Rabu (3/6/2015). 

Penyelenggaraan Gawai maupun sebutan lainnya melalui modifikasi di berbagai level dimaksud justeru terkesan menafikkan keselarasan relasi antara harapan dan realita. Pada satu sisi gawai seperti halnya Naik Dango dan atau sebutan lainnya diamini sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas hasil panen pertanian padi (ladang), namun pada sisi lain realitasnya harus diakui bahwa komunitas masyarakat Dayak yang menggeluti kegiatan berladang telah mengalami "persoalan" terkait ketersediaan lahan pertanian yang terus "terdegradasi". Bahkan di sejumlah komunitas, ada diantaranya yang tidak lagi dapat bertani ladang karena lahan yang mereka miliki tidak memungkinkan lagi dikelola oleh karena berbagai faktor.

Satu di antaranya dikarenakan massifnya ekspansi industri ekstraktif (perkebunan, hutan tanaman, pertambangan) melalui izin pemerintah pada sejumlah wilayah kelola dan sumber kehidupan komunitas masyarakat Dayak. Selain berdampak langsung bagi terjadinya deforestasi dan degradasi terhadap ekosistem, kebijakan pembangunan yang kerap disertai janji memberi kesejahteraan masyarakat tersebut seringkali menempatkan komunitas hanya sebagai objek semata yang selanjutnya berdampak pada multi aspek. Satu diantara akibatnya, terjadi krisis lahan pertanian pangan untuk berladang sebagaimana yang dialami sejumlah komunitas, penyerobotan tanah hingga kriminalisasi menghiasi dinamika tata kelola sumberdaya alam di tanah sekitar wilayah masyarakat lokal.

Ruang Refleksi Bersama
Perayaan gawai dan atau dalam istilah lainnya yang masih terus dirayakan masyarakat Dayak saat ini sejatinya dapat dijadikan peluang baik untuk berbenah. Ruang di mana penting kiranya menyelaraskan makna gawai sebagai bagian dari harapan ideal dengan kenyataan masa kini.

Pesta syukur melalui gawai tersebut juga sedianya dijadikan ruang untuk memastikan komitmen bersama dalam menjaga maupun melindungi keberlanjutan kegiatan pertanian ladang yang menjadi bagian penting dari eksistensi, identitas, dan siklus kehidupan manusia Dayak. Pada sisi lain, peran pemerintah untuk memastikan kelangsungan siklus pertanian ladang yang menjadi sentral dari keberadaan manusia Dayak menjadi keharusan, mutlak ada.

Upaya menjaga keberlanjutan pertanian ladang berarti pula bagaimana memastikan jaminan perlindungan, penghormatan dan penegakkan hak-hak masyarakat atas sumberdaya lahan maupun sumber kehidupan lainnya. Pada perhelatan gawai padi, maka dukungan berbagai pihak utamanya pemerintah sangat diharapkan tidak sekedar ketika acara seremonial gawai dilangsungkan. Namun penting kiranya memastikan agar kelangsungan hak hidup komunitas atas tanah sebagai sumber kehidupan tetap dijamin.

Bila tanpa ada jaminan dan perlindungan hak atas tanah dan sumber kehidupan komunitas, maka jelas perlahan namun pasti lahan pertanian untuk berladang bagi masyarakat Dayak akan terus menyusut. Hal ini berarti pula sebagai lonceng kematian pada keberlanjutan kegiatan perladangan manusia Dayak.

Sebelum sungguh-sungguh terlambat, maka kebijakan alih fungsi tanah dan lahan dalam wilayah kelola komunitas yang menjadi potensi ancaman serius atas keberadaan petani ladang hendaknya sungguh memperhatikan keselamatan komunitas dan lingkungannya.

Hakikat perayaan gawai sejati sebagai ungkapan syukur yang selaras dengan spirit asalnya penting menjadi semangat bersama generasi manusia Dayak saat ini. Tentu pantas disampaikan apresiasi kepada komunitas yang masih menyelenggarakan gawai namun tetap dapat melakukan perladangan. Dengan demikian masih seiring antara harapan dan kenyataan.

Sebab bila realitanya petani ladang di sejumlah komunitas tidak lagi dapat berladang dan otomatis tidak dapat menghasilkan padi dari berladang, maka gawai yang dipromosikan melalui tingkat kecamatan, kabupaten dan propinsi bahkan pula di tingkat wilayah Desa sekalipun, akan tetap terasa "gersang". Ibarat raga tanpa jiwa.

Gawai sebagai ruang apresiasi potensi sumberdaya dan pelestarian seni maupun budaya penting direkonstruksi kembali dengan menambahkan penegasan komitmen bersama untuk memurnikan martabat dan budaya Dayak sebagaimana harapan Adrianus Asia Sidot. Lebih dari itu, menjadi sangat penting pula menambahkan adanya jaminan kepastian akses manusia Dayak terhadap tanah, sumber kehidupan untuk kelangsungan perladangan melalui kebijakan pemerintah.

Nasib perladangan manusia Dayak akan sangat ditentukan oleh keberadaan tanah berikut sumber daya produktif lainnya seperti hutan dan air dalam wilayah kelola mereka. Tanah menjadi sumber hidup dan kehidupan yang tidak cukup dilihat sebagai komoditas, namun memiliki nilai begi komunitas. Tanah penting untuk kelangsungan perladangan padi. Sebab, hanya padi dari kegiatan pertanian (ladang) yang dapat menjadi sarana perhelatan gawai. Bukan biji kelapa sawit dan bukan juga jenis biji atau buah lainnya. Tanpa tanah, tidak ada pertanian ladang. Dan bila tanpa padi, gawai tamat!!! Selamat menyelenggarakan dan memaknai gawai ***.

[1] Penulis, aktif di WALHI Kalimantan Barat. Peminat isu Lingkungan Hidup, Hak Asasi Manusia, Demokrasi, Perdamaian, sosial budaya dan Masyarakat Adat.

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved