2 TKI Pontianak Divonis Mati
DPR Desak Pemerintah Bebaskan Frans
Ia mengatakan keputusan Mahkamah Tinggi Syah Alam telah mencederai rasa keadilan dan kemanusiaan
DPR pun mendesak pemerintah agar tidak lepas tangan dan segera melakukan pembelaan dan pendampingan hukum kepada keduanya. "Saya mendesak agar pemerintahan SBY, terus melakukan pembelaan dan pendampingan hukum kepada kedua TKI dalam proses banding sehingga TKI dapat dibebaskan dari vonis hukuman mati," kata Anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, Minggu (21/10/2012).
Ia mengatakan keputusan Mahkamah Tinggi Syah Alam telah mencederai rasa keadilan dan kemanusiaan. "Jika TKI kita dianggap bersalah, maka kemungkinan besar sanksi yang diterima adalah sanksi maksimal tanpa mempertimbangkan motif di balik tindakannya," tegas Rieke.
Seperti diberitakan, dua bersaudara Frans Hiu dan Dharry Frully Hiu, dijatuhi hukuman gantung sampai mati, Kamis (18/10). Warga Gg Mantuka, Jl Selat Sumba 3 Nomor 10 Siantan ini terbukti melakukan pembunuhan terhadap warga Malaysia, Kharti Raja, Desember 2010.
Rieke menegaskan apa yang dilakukan Frans dan Dharry adalah pembelaan diri. Sebab, Kharti Raja, diduga hendak melakukan pencurian di rumah majikan mereka. Saat itu, baik Frans dan Dharry sedang tidur di rumahnya di Jl 4 Nomor 34, Taman Sri Sungai Pelek, Sepang, Selangor, Malaysia.
Frans yang mengetahui ada pencuri masuk lewat atap, berusaha menangkapnya dan sempat terjadi perkelahian. Setelah berhasil ditangkap, pencuri dikunci dari belakang hingga yang bersangkutan kehabisan nafas dan meninggal.
Melalui pengacara mereka, Yusuf Rahman, kedua TKI ini akan mengajukan banding ke Mahkamah Banding (Mahkamah Rayuan). Dari informasi jaringan di Pontianak, lanjut Rieke, pemerintah Indonesia tidak memberikan pembelaan hukum maksimal kepada Frans dan Dharry, sehingga keduanya terpaksa mengajukan banding di Mahkamah Banding.
Keduanya, selama menjalani proses persidangan, didampingi pengacara yang disewa majikan mereka. "Padahal, dalam konstitusi UUD 1945 pasal 28 I ayat 4 mengatakan Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab Negara, terutama pemerintah. Artinya adalah peran dan tugas pemerintah untuk melindungi seluruh warganegara Indonesia di manapun juga, tanpa memandang status dokumen atau tidak berdokumen," papar Rieke.
Evaluasi KBRI
Karena itulah Politisi PDIP ini meminta agar pejabat di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) hingga Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) dievaluasi kinerjanya atas tidak adanya pendampingan hukum bagi kedua TKI sehingga mendapatkan vonis hukuman mati.
Padahal, pada Februari 2012, Jubir Satgas TKI mengatakan Indonesia sudah memiliki satu pengacara tetap untuk menangani kasus TKI/WNI yang terancam hukuman mati.
"Segera mengirimkan DIM (Daftar Inventaris Masalah) RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri ke DPR, agar dibahas bersama supaya perlindungan kongkrit kepada TKI segera terwujud. Dan agar tidak terulang kembali kasus keterlambatan melakukan pendampingan dan pembelaan hukum," ucap Rieke.
Geram atas lambannya penanganan pemerintah terhadap kasus-kasus hukum yang menjerat TKI di Malaysia, sebanyak lima anggota Komisi I DPR, akan bertolak ke Malaysia, Selasa (24/10). Rombonan akan dipimpin politisi PKB, Effendy Choirie atau Gus Coi.
Di luar Gus Coi mereka adalah Fayakun (Golkar), Nazib (PAN), Guntur (Demokrat), dan Helmi Fauzi (PDIP). "Kami akan langsung menemui KBRI di Malaysia. Kami akan mengontrol KBRI. Apa sudah melakukan pembelaan kepada warga kita yang terancam hukuman mati. Baik dalam kasus pembunuhan, maupun narkoba. Sejauh mana uapayanya, seperti apa diplomasinya," kata Gus Coi yang dihubungi dari Pontianak.
Sebab informasi yang diterima Komisi I DPR, TKI yang terancam hukuman mati tidak mendapatkan pembelaan sungguh-sungguh, KBRI hanya setengah-setengah, tidak serius. Indikasinya adalah KBRI tidak menyewa pengacara handal.
"KBRI seharusnya menyediakan pengacara untuk mereka yang terancam hukuman gantung. Atau melakukan upaya diplomasi minta pengampunan dari Raja di sana," ujarnya.
Gus Coi menegaskan ketika ada TKI atau WNI di luar negeri yang terjerat kasus hukum, langkah pertama yang melakukan pendampingan dan pembelaan adalah wakil pemerintah di luar negeri, dalam hal ini KBRI.
"Ketika kBRI tidak berasil, harus dilakukan oleh presiden. Itu yang tidak dilakukan pemerintah kita. KBRI tumpul, presidennya tidak perduli," tegasnya.
Tidak hanya ke KBRI, rombongan Komisi I DPR juga akan mendatangi TKI yang terancam hukuman mati. Terutama Maryanto Azlan, TKI asal Lamongan, Jawa Timur, yang sangat kecil kemungkinannya untuk bisa lepas dari hukuman mati karena kasus pembunuhan.
"Kita juga akan mencari tahu informasi tentang dua warga Pontianak yang baru saja divonis hukuman mati. Kita dengar pengaduan mereka apa. TKI yang lain juga. Benar atau salah. Benar- benar membunuh, narkoba, atau bagaimana," ujarnya.
Gus Coi menegaskan tujuan Komisi I ke Malaysia untuk menyelamatkan para TKI tersebut. Hasil kunjungan itu, akan dirumuskan Komisi I DPR. Karena menurutnya, solusi itu sudah ada. Saat berkunjung ke Malaysia, nanti diketahui mana saja TKI yang sudah dimaafkan keluarga korban, mana saja yang kasasi dan menang, dan mana saja yang sudah mendapat pengampunan dari Raja.
TKI Ilegal
Lebih lanjut Gus Choie menjelakan, data dari Migrant Care mencatat terdapat 354 orang TKI yang terancam hukuman mati, sementara data dari Kemlu menyebutkan ada sekitar 400 orang.
Ia pun menaruh curiga terhadap banyaknya TKI yang terancam hukuman mati di Malaysia. "Ada kencenderungan polisi malaysia ingin menghancurkan reputasi indonesia dan itu dilakukan sistematis," katanya.
Tidak hanya mengundang perhatian anggota DPR, persoalan hukum yang membelit Frans dan Dharry, juga memantik keprihatinan sesama TKI di Malaysia. Tribun Pontianak, menerima
pesan singkat (SMS) dari warga Kalbar yang juga bekerja di Malaysia, Minggu siang.
TKI bernama Dedi itu meminta Tribun terus memperjuangkan pembebasan Frans dan Dharry. Apalagi, dua bersaudara itu merupakan teman sekampungnya. Dihubungi melalui nomer telepon genggangnya yang bernomor Malaysia, Dedi meluangkan waktu sejenak untuk bercerita.
Saat itu, ia sedang menjaga kedai.
"Pemerintah harus membantu mereka. Meraka tidak bersalah karena sepengetahuan saya, mereka hanya membela diri. Masak kita mau dipukul orang kita diam saja. Tentunya kita harus melawan," ujarnya.
Dedi mengaku sudah mendengar penangkapan Frans dan Dharry sejak 2010. Namun sampai saat ini, ia belum bisa mengunjungi keduanya karena kebebasannya sebagai TKI terbatas. "Di sini banyak TKI ilegal. Kami hanya bekerja dan tidak bisa sembarangan. Sampai sekarang saya belum pernah mengunjungi Frans dan Dharry sejak ditangkap. Kebetulan kami juga tidak terlalu akrab. Namun, kami seperantauan anak Indonesia," paparnya.
Ia baru tahu vonis mati kepada Frans dan Dharry dari laman jejaring sosial facebook. Ia pun kaget. Selama berada di satu kampung, ia tak pernah mendengar frans dan Dhary seorang yang usil. "Saya kaget karena mereka divonis hukuman gantung. Padahal sepengetahuan saya, keduanya tidak pernah usil kepada siapapun. Jadi, waktu itu, saya benar-benar kaget," imbuhnya. (edisi cetak)