Kasus Kaburnya 113 Napi di Lapas Banda Aceh, ICJR Desak Pemerintah Tuntaskan Overcrowding Lapas
Anggara menjelaskan, kericuhan yang terjadi sebelum para narapidana kabur dapat disebabkan karena sesaknya lapas.
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Institute for Criminal and Justice Reform ( ICJR) mendesak pemerintah segera menuntaskan permasalahan kepadatan luar biasa atau overcrowding yang terjadi di banyak lembaga permasyarakatan di Indonesia.
Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju mengatakan, overcrowding itu pula yang menjadi akar permasalahan dari kaburnya 113 napi di Lapas Kelas II A Banda Aceh, Kamis (29/11/2018) petang.
Baca: Antisipasi Kejadian Napi Kabur, Lapas Sintang Lakukan Pendekatan Persuasif
Baca: Pengungkapan Kasus Narkoba Antar Kabupaten Hingga Lapas, Kapolda Beberkan Kronologinya!
"ICJR menilai, kondisi ini akan terus berlangsung jika pemerintah tidak segera mengatasi akar permasalahan dari seluruh permasalahan yang melingkupi rutan dan lapas di Indonesia, yakni overcrowding," terang Anggara melalui siaran pers, Jumat (30/11/2018).
Anggara menjelaskan, kericuhan yang terjadi sebelum para narapidana kabur dapat disebabkan karena sesaknya lapas.
Menurutnya, Lapas Kelas IIA itu termasuk kategori padat dengan persentase kepadatan sekitar 90 persen.
Itu tampak dari jumlah narapidana yang sebanyak 726 penghuni, semenatra kapasitas total lapas sebanyak 800 warga binaan.
Hal ini, dikatakan Anggara, dapat membuat hal sekecil apapun memicu keributan. Selain itu, menurut Anggara, jumlah petugas sebanyak 10 orang yang berjaga pada saat itu tidak ideal. Jumlah itu menunjukkan, setiap petugas wajib mengawasi sebanyak 70 napi saat kejadian.
"Kondisi ini tentu saja tidak ideal, sebab idealnya, 1 orang penjaga seharusnya hanya mengawasi maksimal 10 orang untuk kemudian dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan mengantisipasi jika terjadi keributan," ungkapnya.
Jika tidak diatasi, peristiwa serupa akan terus terulang dan pengeluaran negara akan semakin besar, misalnya untuk menyediakan sumber daya manusia.
Untuk itu, ICJR meminta pemerintah membuat tim investigasi terhadap kejadian tersebut.
Selain itu, Anggara mengatakan pemerintah dan DPR perlu dengan serius membahas alternatif hukum non-penjara.
Begitu pula dengan aparat penegak hukum agar memaksimalkan hukuman alternatif yang sudah dimiliki Indonesia saat ini, misalnya rehabilitasi dan pidana percobaan.
"Pemerintah dan DPR juga harus mulai untuk melirik perombakan kebijakan pidana yang sangat punitif dengan pendekatan penjara, ke arah restoratif yang lebih mengedepankan penyelesaian pemulihan," jelasnya.
Sebelumnya Direktur Jenderal Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami menjelaskan kronologi kericuhan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Banda Aceh.
Kericuhan pada Kamis (29/11/2018) petang, itu membuat 113 narapidana melarikan diri. Menurut Utami, kericuhan terjadi pertama kali pada pukul 18.30 WIB, saat sekitar 300 warga binaan sedang melaksanakan shalat magrib di masjid.