Walhi Kalbar Tegaskan Percepatan Hutan Adat Tergantung Peran Strategis Eksekutif-Legislatif
Perda terkait hutan adat yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif di daerah sebagai upaya percepatan penetapan hutan adat
Penulis: Jimmi Abraham | Editor: Madrosid
Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Rizky Prabowo Rahino
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK – Kepala Divisi (Kadiv) Kajian, Dokumentasi dan Kampanye WALHI Kalbar, Hendrikus Adam menegaskan peran eksekutif dan legislatif sangat strategis dalam upaya membuat regulasi berupa Peraturan Daerah (Perda) terkait pengakuan dan perlindungan keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA).
“Perda terkait hutan adat yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif di daerah sebagai upaya percepatan penetapan hutan adat sesuai harapan semua pihak,” ungkapnya, Minggu (8/4/2018).
Penetapan dan perlindungan hak-hak MHA semakin diakui pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012.
Adam menilai putusan MK itu membuka peluang dalam upaya wujudkan kedaulatan atas wilayah adat dan hutan adat.
Baca: Apresiasi Peta Indikatif Hutan Adat, Irmansyah Minta Usulannya Diverifikasi di Dinas Kehutanan
“Putusan MK itu menyatakan bahwa keberadaan masyarakat adat tidak bisa dipisahkan dari wilayah hutan adatnya. Penetapan hutan adat dalam wilayah MHA penting dan mendesak diwujudkan,” terangnya.
Adam menerangkan target penetapan hutan adat di Kalimantan Barat sekitar 656.440,17 hektare pada tahun 2018-2022. Luasan itu tersebar di 9 daerah kabupaten.
Ia memaparkan urgensi penetapan hutan adat dalam wilayah MHA didasari pada tiga argumen penting.
“Pertama, penyelamatan generasi MHA karena keberadaannya memiliki banyak pengetahuan serta praktik-praktik sosial budaya, religi dan kebutuhan makan minum yang sangat tergantung dengan keberlanjutan ekologis dalam wilayah adatnya,” paparnya.
Baca: Persoalan Hutan Adat Belum Selesai, Pemprov Kalbar Beri Perhatian Serius Penyelesaiannya
Kedua, seluas 1,6 juta hektare wilayah adat telah dipetakan di Kalimantan Barat.
Berdasarkan pemetaan itu kenyataan masih banyak pemukiman MHA berada di dalam dan sekitar kawasan hutan.
“Di satu sisi, keberadaan industri ekstraktif berbasis hutan dan lahan mengancam keberlanjutan sumber daya hutan sebagai ekosistem kompleks tempat kehidupan MHA bergantung,” imbuhnya.
Argumen ketiga yakni rentannya MHA jadi korban kriminalisasi pengurusan wilayah hidupnya. Akibat kebijakan berbasis hutan dan lahan yang abai terhadap prinsip-prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan atas hadirnya izin bagi industri ekstraktif dan/atau kebijakan pembangunan yang kurang berpihak pada penguatan dan perlindungan.
“WALHI Kalbar memberikan apresiasi terhadap upaya pemerintah dan berbagai stakeholders yang terus mendorong terwujudnya kepastian perlindungan terhadap keberadaan Masyarakat Hukum Adat beserta wilayah hidupnya,” tukasnya.