Nyambi Jadi Biduan Kampung, Inilah Kisah Perjalanan Hidup Guru Honorer Cantik

"Ya mau bagaimana lagi, yang penting halal. Selain itu bisa menghibur orang-orang yang punya hajatan

Editor: Jamadin
dokumen pribadi
Wuningsih (kedua dari kanan/berjilbab hitam) guru honorer yang nyambi jadi biduan antar kampung 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID -  Seorang guru honorer wanita asal Desa Blendung, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, Wuningsih (37) sudah hampir 10 tahun tak kunjung diangkat menjadi PNS, ia pun menjual suaranya nyambi jadi biduan kampung. Bukan tanpa alasan, karena guru honorer kecil, sehingga harus mencari penghasilan tambahan.

Kepada Tribunnews.com, Sabtu (25/11/2017), wanita berparas cantik ini mengakui profesi guru sangat mulia, karena bertugas mendidik murid-murid menjadi generasi muda penerus bangsa. Karenanya ia sama sekali tak menyesali menekuni profesi guru ini.

Namun, karena penghasilannya yang sangat kecil, ia pun mulai menjual suara merdunya dari kampung ke kampung.

"Ya mau bagaimana lagi, yang penting halal. Selain itu bisa menghibur orang-orang yang punya hajatan," kata lulusan S1 PGSD UT Comal tersebut.

Sejak SMA, istri dari M Chuzaeni ini memang sudah pandai menyanyi dan sering ikut menjadi biduan antar desa. Namun sejak menikah, ia menghentikan kegiatan tersebut.

(Baca: Tagana Serahkan Hasil Penggalangan Dana ke Korban Kebakaran, Ini Jumlahnya )

Namun, setelah memiliki anak, kebutuhan terus menumpuk. Ia pun berusaha membantu sang suami yang seorang sopir untuk menambah penghasilan.

Mengandalkan gaji guru, jelas wanita kelahiran 10 September 1980 ini, tidak mungkin. Ia mengaku tiap bulan hanya dibayar Rp 250.000. Menurutnya, hanya bisa buat beli bensin.

Nah, pada saat itu teman-teman lamanya mengajaknya kembali 'turun gunung' untuk menyanyi. Karena tuntutan ekonomi tersebut akhirnya Wuning pun memutuskan kembali terjun ke dunia hiburan tingkat desa. Namun ia tegas menolak menanggalkan hijab saat manggung.

Namanya paling tidak dikenal sebagai biduan dari kampung ke kampung seputar Pemalang dan Pekalongan. Sekali manggung, jelasnya, setiap biduan dapat bayaran antara Rp 200 ribu hingga Rp 250 ribu.

Biasanya orang yang mengordernya adalah orang yang punya hajatan pernikahan, khitanan ulang tahun, atau pesta reuni.

Banyak pengalaman yang ia dapatkan saat manggung dari desa ke desa, misalnya saja saat manggung di Paninggaran, Pekalongan, karena medannya sangat sulit, ia harus menyanyi sambil 'nyeker'. Atau pernah diisengi oleh pria mabuk.

(Baca: Maju Pilbup Mempawah, Sekda Mochrizal Sudah Minta Izin ke Bupati )

Pasang surut pun dialami setiap tahunnya, biasanya kalau habis lebaran, 'job' terus berdatangan hingga sehari bisa manggung sampai dua kali karena banyaknya orang punya hajatan. Tetapi kalau memasuki bulan Sura, maka pekerjaannya itu akan memasuki masa paceklik. "Bulan Sura tahun ini, cuma satu job," ujar Wuning.

Meskipun telah malang melintang di dunia hiburan antar kampung, Wuning mengatakan tidak menyesal dan ia tidak akan keluar dari pekerjaan aslinya, guru honorer. Ia tetap berharap pemerintah setempat berbesar hati merekrut para guru honorer menjadi PNS.

Halaman
12
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved