Antara Paham Radikalisme dan Pancasila
Pancasila sebagai kolektivitas bekerja memisahkan demos dari non-demos, moderat dari radikal.
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - Belakangan ini radikalisme mendapatkan momentum politiknya. Kasak-kusuk lirih itu berubah menjadi suara yang nyaring dan lantang.
Kita pun seperti tergopoh-gopoh merespons gelagat tersebut. Sebagian bertanya, ”Apakah demokrasi tidak bisa mengatur dirinya sendiri dan memadamkan api intoleransi dalam tubuhnya?”
Bagi saya, kita terlalu memandang tinggi demokrasi. Kita semua lupa bahwa demokrasi bukan mekanisme pemadam intoleransi.
Dia cuma mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak.
Netralitas semacam itu yang membuat kita (politically speaking) terhuyung-huyung dan nyaris pingsan.
Kenyataannya, belakangan ini suara radikal mendapat sokongan publik. Lalu, apa yang harus dilakukan?
Demokrasi melempem
Filsuf Chantal Mouffe menuduh demokrasi liberal yang mengutamakan diskusi dan bukan kontestasi sebagai biang keladi sektarianisme.
Kebangkitan politik kanan ditengarai Mouffe sebagai akibat ketidakmemadaian demokrasi liberal melahirkan kaum Demokrat sebagai identitas kolektif.
Baca: Kapolresta Pontianak Ajak Masyarakat Jaga Keamanan
Demokrasi liberal tidak dapat menjawab pertanyaan tentang bagaimana kaum Demokrat sebagai identitas kolektif diciptakan sebagai lawan sepadan bagi identitas sektarian.
Kegagapan demokrasi liberal menjelaskan pembentukan kaum Demokrat disebabkan kebutaannya terhadap watak politik sebagai antagonisme.
Demokrasi liberal tidak mampu menangkap kodrat pluralistik sebuah realitas sosial dan konflik yang mengikutinya.
Individualisme yang menjadi acuan antropologis demokrasi liberal sulit mencerna watak kolektif sebuah konflik.
Konflik tidak terjadi antarindividu akibat perbedaan keinginan, tetapi antaridentitas kolektif.
Politik adalah perkara pembentukan ”kami” di hadapan ”mereka”.