Kisah Sutarman, Perantau Asal Cilacap yang 11 Tahun Tak Pulang Kampung Karena Malu

Editor: Jamadin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

BERI KETERANGAN - Sutarman (59) saat di wawancarai di sekitar Taman Akcaya, Jalan Sutan Syahrir, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Kamis 21 Agustus 2025. Saya ini orang kecil, pendidikan tidak ada, modal juga tidak ada. Jadi apa saja saya kerjakan yang penting halal
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK – Hidup sederhana dijalani Sutarman (59), pedagang perabot rumah tangga tradisional di Pontianak.
Lelaki asal Cilacap, Jawa Tengah ini telah merantau ke Kalimantan Barat sejak tahun 2001.
‎Sebelum menetap di Pontianak, Sutarman sempat merantau ke Lampung. Setibanya di Kalbar, ia bekerja serabutan, termasuk menjadi buruh bangunan. 
‎Namun karena sering merasa dipermainkan mandor dan pembayaran upah yang tidak lancar, ia memilih berhenti.
‎“Saya ini orang kecil, pendidikan tidak ada, modal juga tidak ada. Jadi apa saja saya kerjakan yang penting halal. Yang penting tidak mencuri, tidak nipu,” ujarnya saat ditemui di sekitar Taman akcaya. Kamis 21 Agustus 2025.
‎Perjalanan hidup Sutarman tidaklah mudah. Ia pernah menikah dengan warga Pontianak dan merintis berbagai usaha, mulai dari berjualan gado-gado, ayam penyet, es campur, hingga membuka warung sembako. 
‎Bahkan ia sempat memproduksi sale pisang khas Cilacap yang berhasil masuk ke supermarket yang ada di Pontianak. Bahkan dari hasil jerih payahnya ia berhasil membangun kos-kosan. 
‎Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Rumah tangganya kandas dan ia harus meninggalkan semua usaha yang telah dirintisnya. 
‎“Begitu pisah, saya keluar rumah nggak bawa apa-apa. Cuma bawa pakaian harian, motor, dan uang Rp 35 ribu di dompet. Mau mulai usaha lagi pun saya sudah trauma,” kenangnya.
‎Trauma itu begitu membekas. Setiap kali melihat barang-barang yang dulu pernah ia jual, hatinya terasa sakit dan bahkan sering membuatnya meneteskan air mata. 
‎“Kalau lihat gerobak jualan, piring, gorden, atau jajanan yang dulu pernah saya jual, rasanya sakit sekali. Ingatan itu bikin saya makin trauma,” ujarnya lirih.
‎‎Sejak itu, ia sempat enggan melakukan banyak hal. Sutarman hanya menumpang hidup di rumah saudara, membantu mencuci piring hingga mengantar jemput anak sekolah. ‎“Yang penting bisa makan dan tidur, walaupun seadanya,” katanya.
‎Namun karena merasa tidak dihargai dan kerap dimanfaatkan, akhirnya ia memilih hidup mandiri dengan mengontrak rumah sendiri, meski harus berjuang keras memenuhi kebutuhan sehari-hari.
‎Sekitar tiga tahun terakhir, Sutarman kembali berjualan perabot rumah tangga tradisional seperti sapu, tudung saji, nyiru, hingga lesung batu. 

 

‎Barang dagangannya sebagian didatangkan dari Jawa, sebagian lagi dari Kalbar, seperti Sungai Pinyuh dan Sambas.
‎‎Harga barang bervariasi, mulai dari Rp 15 ribu untuk centong sayur berbahan tempurung kelapa hingga lebih dari Rp 100 ribu, bahkan ada yang mencapai Rp 250 ribu untuk tudung saji besar berbahan rotan. Namun, dagangannya kini semakin sulit laku, karena terlalu awet. 
‎‎“Barang-barang ini awet, bisa dipakai tahunan bahkan turun ke anak cucu. Jadi sekali orang beli, lama rusaknya. Ditambah sekarang pedagang makin banyak,” jelasnya.
‎Dulu, ketika awal berjualan perabot, Sutarman bisa meraup penghasilan hingga Rp 2 juta sehari.
Kini, laku satu sampai dua barang saja sudah sangat disyukurinya, walaupun hanya sekedar untuk makan. 
‎‎Selain makin banyak pesaing, keterbatasan fisik juga membuat geraknya semakin terbatas. Ia menderita asam urat sehingga sulit berjalan jauh. 
‎“Kalau jualan jauh, berangkatnya masih kuat. Tapi pas pulang, kaki bengkak. Jadi mikir dua kali untuk berjalan jauh,” tuturnya.
‎‎Di balik semua keterbatasan itu, Sutarman tetap berusaha ikhlas menghadapi cobaan hidup. 
‎“Ya sudah lah, pasrah saja sama Allah. Hidup sendiri. Yang penting kita kerja halal," ucapnya. 
‎‎Namun di balik kepasrahannya, tersimpan kerinduan yang tak bisa ia wujudkan. Sutarman mengaku sudah sekitar 11 tahun tidak pernah pulang ke kampung halamannya di Cilacap.
Bukan karena tak ingin, melainkan karena merasa malu dengan keadaannya.
‎“Kalau orang tua masih hidup mungkin saya usahakan pulang. Tapi sekarang orang tua sudah meninggal semua. Mau pulang pun rasanya malu, karena saya nggak punya apa-apa,” tuturnya pelan.
‎‎Kini, di usianya yang hampir 60 tahun, Sutarman masih setia menata dagangan di gerobak sederhana miliknya. Baginya, berapa pun rezeki yang datang tetap harus disyukuri.‎

Baca Berita Terbaru Lainnya di GOOGLE NEWS
Dapatkan Berita Viral Via Saluran WhatsApp

!!!Membaca Bagi Pikiran Seperti Olahraga Bagi Tubuh!!!

Berita Terkini