“AI dulu masih dianggap abstrak, kayak Terminator. Saya juga enggak kebayang kalau nanti bakal kerja di bidang ini,” kenangnya.
Ketertarikan itu ternyata menjadi pintu masuk perjalanan panjangnya.
Setelah lulus, ia melanjutkan studi S2 di University of Oxford, Inggris.
Namun langkah itu sempat terganjal.
“Semester pertama di Oxford saya gagal di dua mata kuliah, salah satunya machine learning. Sempat mikir, ‘wah susah banget’, tapi kalau mau jadi pakar AI pasti harus melewati tantangan itu,” ujarnya.
Dari Oxford ke Carnegie Mellon
Meski sempat terpuruk, Adhi bangkit.
Ia melihat peluang besar ketika pendekatan baru deep learning mulai diperkenalkan.
“Saya rasa ini revolusioner. Masa depan AI ada di sini, dan saya ingin jadi bagian darinya,” katanya.
Setelah meraih gelar master di Oxford, ia melanjutkan S2 kedua di Carnegie Mellon University (CMU), Amerika Serikat, salah satu pusat riset AI dunia. Di CMU, ia memfokuskan diri pada NLP, bidang yang memungkinkan mesin memahami bahasa manusia.
Tawaran Beasiswa dan Jalan ke DeepMind
Selepas CMU, Adhi mendaftar program doktoral ke berbagai universitas ternama.
Ia diterima di Harvard, Stanford, hingga Oxford dengan tawaran beasiswa penuh.
Pilihannya jatuh ke Oxford lagi, karena profesornya menawarkan kesempatan unik: kuliah sambil terlibat langsung di DeepMind.
Marc’Aurelio Ranzato, Direktur Ilmuwan Riset DeepMind, menyebut alasan memilih Adhi sederhana: kualitas dan kreativitas.