Kasus ini memicu kritik terhadap sistem BPJS Kesehatan, terutama dalam penanganan kasus darurat yang abu-abu.
Suprapto menyoroti aturan BPJS yang dinilai semakin menyulitkan masyarakat miskin untuk mendapatkan layanan kesehatan yang layak.
"Kami akan terus menindaklanjuti kasus ini. Kalau begini caranya, buat apa ada BPJS? Orang sakit harus gawat dulu baru dijamin. Ini seperti menunggu kematian," ujarnya dengan nada kecewa.
Apa Harapan Keluarga dan Warga Setelah Kasus Ini?
Keluarga dan warga berharap kejadian seperti ini tidak terulang lagi.
Mereka meminta BPJS dan rumah sakit untuk lebih manusiawi dalam menilai kondisi pasien, terlebih ketika pasien adalah anak-anak dan berasal dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi.
"Tujuan BPJS itu kan untuk menjamin pengobatan rakyat. Tapi kalau syaratnya makin rumit dan hasilnya begini, kepercayaan masyarakat bisa hilang," tambah Suprapto.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Kasus AOKA?
Apakah Perlu Evaluasi Sistem Rujukan dan Penanganan di IGD?
Kasus AOKA menjadi cerminan lemahnya komunikasi antara pasien, keluarga, dan sistem kesehatan. Penilaian kondisi “tidak gawat” oleh petugas medis seharusnya dibarengi dengan edukasi dan pendampingan agar pasien dan keluarganya memahami risiko yang dihadapi.
Di sisi lain, sistem BPJS Kesehatan dinilai perlu lebih fleksibel dalam kasus-kasus tertentu, khususnya ketika menyangkut anak-anak dan potensi risiko yang cepat memburuk.
Apa Langkah Selanjutnya yang Perlu Dilakukan?
Pihak keluarga, masyarakat, dan tokoh lokal berencana menyampaikan aduan resmi ke BPJS Kesehatan.
Mereka menuntut klarifikasi lebih lanjut sekaligus perubahan kebijakan agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa depan.
(*)
Artikel ini telah tayang di TribunJatim.com dengan judul Berobat Pakai BPJS karena Sesak Napas, Anak 12 Tahun Meninggal setelah Diminta Pulang, RSUD: Stabil
• Baca Berita Terbaru Lainnya di GOOGLE NEWS
• Dapatkan Berita Viral Via Saluran WhatsApp
!!!Membaca Bagi Pikiran Seperti Olahraga Bagi Tubuh!!!