Pendapat kedua menyatakan sah hukumnya jika seseorang shalat ketika ia sedang berada dalam pesawat yang sedang terbang
dengan alasan:
Kewajiban shalat dibebankan sesuai dengan ketentuan waktu dan di mana saja berdasarkan Alquran dan hadis.
Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (QS. anNisa’ [4]:103).
Yang artinya:Dari Aisyah ra., bahwa dia meminjam kepada Asma’ ra. sebuah kalung, lalu kalung itu rusak (hilang).
Rasulullah SAW memerintahkan orang-orang dari para sahabat beliau untuk mencarinya.
Kemudian waktu shalat tiba dan akhirnya mereka shalat tanpa berwudu. (HR. Bukhari dari ‘Aisyah RA).
Keadaan darurat tidak menghilangkan kewajiban shalat sesuai kemampuan.
Ulama yang mengatakan sah shalat seseorang dengan kedua alasan tersebut adalah Imam Ahmad dan Imam Syafi’i, walaupun Imam Syafi’i mewajibkan i’adah shalat (mengulang shalat) setiba orang itu di darat.
Menurut Imam Syafii, shalat seseorang di kendaraan hanya untuk menghormati waktu shalat (lihurmatil waqti).
Mengulang shalat yang dianjurkan Imam Syafi’i dilakukan sebagai berikut:
a. Ia segera shalat lagi setibanya di tempat tujuan.
b. Ia melakukan shalat seperti biasa dengan gerakan shalat sempurna (kāmilah) bukan isyarat (ima’ah).
Jika hendak melakukan shalat di pesawat terbang, seorang jemaah haji hendaknya melakukan hal-hal berikut ini:
Tetap duduk di kursi pesawat dengan posisi kaki menjulur ke lantai pesawat atau dengan melipat kedua kaki dalam posisi miring atau tawaruk (duduk tah} iyat).
Menjadikan arah terbang pesawat ke mana saja sebagai arah kiblat.
Melaksanakan seluruh gerakan rukun shalat semampu dia lakukan dengan ima’ah (isyarat). (*)
Cek Berita dan Artikel Mudah Diakses di Google News