Pilpres 2019

Empat Pakar Hukum Ungkap Kemungkinan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno Menang di Mahkamah Konstitusi

Editor: Nasaruddin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pasangan capres dan cawapres nomor 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno menggelar konferensi pers didampingi tim Badan Pemenangan Nasional menyikapi hasil perhitungan suara KPU, di Kertanegara, Jakarta, Selasa (21/5/2019). Prabowo-Sandi menolak hasil perhitungan suara Pilpres 2019 yang telah dilakukan KPU, karena dianggap terjadi kecurangan.

Empat pakar hukum mengungkap kemungkinan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno menang di Mahkamah Konstitusi.

Hal itu setelah kubu Prabowo - Sandiaga mengajukan gugatan hasil Pilpres 2019 alias sengketa Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (24/5/2019) kemarin.

Namun demikian, untuk sampai mengubah hasil Pilpres 2019, hal itu jelas tidak mudah. 

Berikut pandangan pakar hukum terkait kemungkinan tersebut:

1. Refly Harun

Saat ditanya mungkin tidak kalau secara kuantitatif apa yang dilaporkan BPN Prabowo - Sandi dibuktikan dengan waktu yang sebegitu ketat, Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mengatakan ada dua aspek pendekatan.

Satu kuantitatif dan yang kedua kualitatif.

"Kalau kuantitatif ini BPN harus bisa membuktikan bahwa mereka itu dikurangi, dicurangi atau ada penggelembungan suara bagi pasangan 01, sejumlah separo dari 16.957.123 suara. Artinya kira-kira ada sekitar 8,5 juta suara," kata Refly.

"Kalau dia bisa mendalilkan bahwa saya dikurangi atau di sana ada penggelembungan 8,5 juta suara setelah diakumulasikan, maka di situ kita baru bicara signifikan untuk diproses lebih lanjut dari sisi kuantitatif," jelasnya.

Tapi kalau dari permohonan saja, tidak signifikan, hanya klaim-klaim, maka bergerak pada dimensi kedua yaitu dimensi kualitatif. 

"Contoh misalnya orang yang tidak memilih dihitung, daftar pemilih khusus tambahan dihitung, itu cenderung tidak signifikan. Maka bergerak pada dimensi kedua yaitu dimensi kualitatif. Ketika kita bicara dimensi kualitatif, ada dua juga," lanjutnya. 

"Apakah kita akan bergerak pada TSM (Terstruktur, Sistematis dan Massif) ataukah kita hanya cukup membuktikan bahwa memang ada kecurangan yang diperintahkan, yang langsung dikomando oleh pasangan 01 atau tim kampanye nasionalnya," urainya. 

Itu penting untuk dikaitkan dengan pemilu yang jujur dan adil.

Menurut Refly Harun, berat untuk membukti kecurangan yang terstruktur, sistematis dan massif (TSM).  

"Untuk TSM, terus terang berdasarkan pengalaman saya sejak 2004, berat membuktikannya. Karena menyangkut sebaran suara yang besar, jumlah yang besar dan lain sebagainya," katanya. 

Halaman
1234

Berita Terkini