Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Prabowo
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, TRIBUN - Penderita Demam Berdarah Dangue (DBD) di Kalimantan Barat terus meningkat. Hingga pekan kedua Februari 2019 sebanyak 570 kasus demam berdarah. Bahkan tercatat sudah tujuh orang meninggal dunia akibat serangan penyakit ini.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Barat Harry Agung mengatakan penetapan kejadian luar biasa untuk demam berdarah sepenuhnya menjadi kewenangan dari pemerintah kabupaten/kota ini. “Penetapan KLB dari pimpinan daerah setempat,” kata Harry, Selasa (19/2/2019).
Ia menyatakan penetapan KLB itu harus memenuhi beberapa indikator. Seperti peningkatan jumlah kasus yang signifikan dalam satu bulan kemudian. “Jadi dilihat apakah di bulan itu kenaikan kasus DBD dua kali lipat,” ujar dia.
Harry menimpali hingga saat ini belum ada satupun kabupaten atau kota yang menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD. Penetapan KLB menjadi kewenangan pimpinan daerah setempat dalam hal ini Bupati atau Wali Kota.
“Belum ada yang menetapkan KLB. Secara resmi, belum ada laporan terkait itu dari pimpinan daerah,” katanya.
Baca: Kasus DBD Capai 102 Kasus, 1 Meninggal, Diskes KKR Ajak Warga Gencar PSN
Baca: Gubernur Sutarmidji Apresiasi Pencanangan Zona Integritas KPP Pontianak Timur
Penetapan status KLB DBD, kata dia, lazimnya mempertimbangkan banyak hal. Angka kasus DBD misalnya, harus selalu dipantau apakah kasus yang terjadi pada satu bulan itu lebih atau bahkan dua kali lipat dari angka kasus DBD tahun sebelumnya.
“Jadi, status KLB DBD itu tidak hanya berkaitan dengan jumlah angka kasus yang naik. Tapi, melihat apakah naiknya ekstrim semisal dua kali lipat atau lebih,” imbuhnya.
Selain itu, status KLB juga mempertimbangkan Case Fatality Rate (CFR) DBD atau suatu angka yang dinyatakan ke dalam prosentase berisikan data orang yang mengalami kematian akibat DBD yakni 1 per 100.000 penduduk.
“Kalau prosentasenya di bawah satu persen, berarti itu pertolongan cepat dan jumlah kematian dianggap tidak terlalu signifikan. Tapi, kalau lebih dari satu persen, berarti itu warning (perhatian). Ini pertimbangan menentukan KLB atau tidak,” paparnya.
Penetapan status KLB dari pimpinan daerah diakui sangat perlu ketika berbagai hal pertimbangan itu telah terjadi. Tujuannya agar dilakukan upaya lebih cepat dan massal secara serentak untuk atasi wabah endemik DBD.
Kendati demikian, Harry mengakui ada juga pemahaman KLB berdasarkan Dinas Kesehatan (Diskes) masing-masing kabupaten atau kota. Namun, ia tegaskan pemahaman KLB dari Dinas Kesehatan itu tidak bisa disamakan dengan penetapan KLB dari pimpinan daerah.
“Itu tidak boleh disamakan. Karena acuan KLB adalah yang ditetapkan kepala daerah,” jelasnya.
Ia menerangkan biasanya KLB yang dibuat oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota bertujuan sebagai bagian dari early warning system atau sistem peringatan dini. Otomatis, status pemantauan dan pelaporan bergerak dari laporan bulanan atau mingguan menjadi laporan harian.
“Tapi, itu bukan KLB dalam pengertian tanggap darurat dan sebagainya,” tegasnya.