Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Syahroni
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Ketua DPD PDIP Kalbar, Cornelis membuat pernyataan sikap di depan puluhan awak media baik lokal maupun nasional terkait hasil quick Count dua lembaga survei, Poltracking dan LSI Denny JA di Pilgub Kalbar.
Hasil quick count dua lembaga survei nasional tersebut seperti diketahui Pilgub Kalbar dimenangi Pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar, Sutarmidji-Ria Norsan.
PDIP sendiri mengusung pasangan Karolin Margret Natasa-Suryadman Gidot.
Perolehan suara keduanya berada di bawah Sutarmidji-Ria Norsan berdasarkan qucik count LSI dan Poltracking.
Cornelis, yang juga ayah kandung Karolin itu menuturkan bahwa metode riset dua lembaga survei tersebut adalah metode riset yang paling lemah dalam konteks akademik.
Ia menegaskan pertemuan dengan awak media ini sengaja dilakukan untuk merespon hasil Survei LSI Denny JA dan Poltracking tentang hasil Pilkada Kalbar, yang hasilnya diklaim sebagai kemenangan.
Baca: Cornelis Minta Masyarakat Tenang dan Menahan Diri
(Baca: Puluhan Driver Gojek Grebek Mobile Customer Service BPJS Kesehatan )
"Memberitahukan bahwa metode riset survei adalah metode riset yang paling lemah dalam konteks akademik. Metode survei baru bisa dikatakan bernilai akademik bila data survei itu diintegrasikan dengan data observasi," ujar Cornelis, di Kantor DPD PDIP, Jalan Sultan Syarif Abdurrahman Pontianak, Sabtu (30/6/2018).
Dalam konteks Pilkada Kalbar yang luasan wilayahnya sangat luas dan penduduk yang tersebar, menurutnya data observasi itu harus meliputi wilayah keseluruhan Kalbar.
Pihak PDIP Kalbar, menjelaskan setidaknya ada empat komponen yang menyebabkan metode survei seringkali tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akademik.
"Pertama, itu adalah coverage error. Ini merujuk pada luasnya respondent yang harus dicakup dalam survei. Misalnya Pilkada Gubernur Kalbar ada sekitar 11.500 TPS. Tetapi survei untuk QC hanya mensurvei 350 TPS, ini berarti kurang dari 5% populasi respondent maka jelas ini tidak bisa diterima secara akademik yang datanya solid," ucap Cornelis.
Selanjutnya atau yang kedua, yang dapat membuat hasil survei lemah adalah sampling error, ini merujuk pada sistim sample random yang seharusnya merata, bukan berpusat pada tempat tertentu yang akhirnya tidak mewakili respondent yang luas.
Baca: Gelar Konferensi Pers, Cornelis Sampaikan Hal Ini Terkait Pilgub Kalbar
(Baca: Seorang Tenaga Medis Mainkan Wajah Bayi Viral di Medsos )
"Apakah sistim random sample yang dibuat oleh kedua lembaga survei ini benar-benar disebar? Atau hanya ambil sample pada tempat-tempat tertentu saja? Kalau tidak mewakili semua wilayah dalam sistim randomnya maka data yang dihasilkan itu manipulatif dan tidak bisa diterima secara akademik," tambahnya.
Ketiga, menurut Cornelis yang dapat melemah survey adalah non response error, ini merujuk pada data tidak dikumpulkan mewakili semua respondent yang sedang menjadi objek penelitian.
Terlebih Kalbar jumlah TPS yang menjadi sampling responden oleh dua lembaga survei tersebut sekitar 350 an TPS saja, maka jelas error itu terjadi dan hasilnya tak bisa diterima secara akademik.
Keempat, measurement error. Ini merujuk pada motivasi peneliti dalam menafsirkan atau menggiring hasil survei terserah si peneliti.
"Dalam konteks Pilkada Gubernur Kalbar, jelas sekali bahwa kedua lembaga survei itu adalah konsultan politik lawan tandingnya maka pengukuran hasil survei pasti bias demi kepentingan diri mereka sendiri," tegasnya.