Kondisi itulah yang membuat publik saat ini tidak menjadi cerdas. Diskusi-diskusi yang terjadi tidak pernah bicara substansi.
Diskusi yang terjadi selalu dilandasi emosional sehingga yang tampak adalah kegaduhan antara kedua kubu yang terus berhadapan secara diametral dari 2014 hingga jelang 2019 ini.
Namun perkara kini makin ruwet lantaran adanya politisasi. Segala perkara di negeri ini dipolitisasi tanpa tawaran solusi yang hakiki. Tidak seperti sejumlah bangsa lain, bangsa ini bukannya bersama-sama berupaya menyelesaikan persoalan, melainkan malah menambah ruwet perkara.
Salah satunya ialah utang Indonesia.
Disebarkan opini Indonesia di ambang bubar lantaran utang yang sukar terbayar, yang kemudian direspon Presiden Jokowi, Sabtu (7/4). Jokowi mengungkapkan ketika dirinya dilantik sebagai presiden, utang Indonesia sudah di angka Rp2.700 triliun dengan bunga Rp250 triliun per tahun. Wajar bila Jokowi merespons karena politisasi utang tersebut dialamatkan kepadanya.
Kita percaya, dengan mengungkapkan sebagian utang tersebut merupakan warisan rezim-rezim sebelumnya, Presiden Jokowi tidak hendak menyalahkan presiden-presiden pendahulunya.
Presiden Jokowi hanya hendak meluruskan utang Indonesia yang kini sekitar Rp4.000 triliun merupakan akumulasi.
Kalau boleh jujur, sebenarnya kita harus prihatin dengan kondisi ini.
Tak ada lagi ruang diskusi yang mencerdaskan ketika semua selalu mentok pada Jokowi atau Prabowo. Ke depan, bangsa ini menanggung banyak persoalan yang mesti diselesaikan.
Kita tak boleh lelah bekerja untuk mengatasi persoalan itu.
Namun, janganlah menambah berat persoalan dengan merecoki dan memolitisasinya.
Bisa-bisa bangsa ini kehabisan energi mengurus sesat pikir terhadap persoalan tersebut, bukan lelah mengatasi persoalan itu sendiri. Mari Move-on, agar Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap utuh, tetap bersatu. (*)