Tukang Kritik yang Anti-Kritik

Editor: Dhita Mutiasari
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana gedung DPR RI, Jakarta.

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID - SEJAK reformasi, terjadi pergeseran kekuasaan pada cabang kekuasaan di Indonesia.

Jika sebelumnya terpusat di eksekutif, kemudian berbagi dengan legislatif dan yudikatif, sebagaimana konsep trias politika.

Saat itu pula, muncul amanat konstitusi agar ada check balance, terhadap kekuasaan negara yang dipimpin oleh kepala negara yang juga seorang presiden atau kepala pemerintahan.

Baca: Kabut Asap Karhutla, Ini Tanggapan WALHI Kalbar

`Pembagian' kekuasaan secara benar itu dimaksudkan agar kepala negara yang sekaligus kepala pemerintahan tidak kebablasan.

Legislatif bisa menyemprit, memberi kartu kuning bahkan kartu merah.

Namun begitu, niat membuat keseimbangan antar cabang kekuasaan itu pun sempat bablas.

Di era presiden Gus Dur, DPR bukan saja mengontrol eksekutif, tapi juga melengserkan kepala negara dengan prosedur yang tidaklah rumit.

Baca: AJI Pontianak - Hoaks Populer Adalah Isu Sosial Politik di Pilkada

Para ahli hukum tata negara pun tersentak atas peristiwa penjungkalan Gus Dur.

Mereka kemudian mengusulkan kepada MPR agar legislatif tidak bisa secara langsung menjatuhkan presiden, hanya dengan `proses politik'.

Sebelum pemakzulan, harus ada penilaian bersalah (atau tidak) secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi.

Pascaprosedur pemakzulan yang diperumit, anggota legislatif bukan tidak menjadi tidak pernah menggoda eksekutif dengan isu ini.

Di era Soesilo Bambang Yudhoyo (SBY), tercatat DPR pernah menggunakan hak angketnya dan sempat santer terdengar bakal berujung ke pemakzulan.

Namun, isu itu hanya sekadar menjadi bahan tekanan politik dan tidak pernah berujung proses pemakzulan sebagaimana prosedur yang diamanatkan Undang-undang.

Gertakan, kecaman atau kritikan terhadap pemerintah tentu bukan hanya terbungsu dalam isu pemazulan.

Sejumlah kemasan kritik pun terus berlangsung dalam setiap periode pemerintahan dan terus terjadi hingga kini. Pada saat bersamaan, ketika kritik terhadap pemerintah dilancarkan legislatif, gencar pula kritikan (dalam berbagai bentuk) dialamatkan ke senayan.

Rupaya, para legislator di senayan mulai gerah dengan kritik yang dialamatkan pada para `tukang kritik' ini.

Puncaknya, DPR pun mengesahkan Undang-Undang Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD), yang satu di antara pasalnya menjadi benteng kritik.

Dalam pasal 122 hasil revisi, berbunyi: "mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perserorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR."

Frase "merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR" tafsirnya sangat luas dan ambigu.

Anggota DPR yang jadi sasaran kritik warga dan pengamat, bisa mengartikan kritik tersebut sebagai merendahkan kehormatannya, sehingga menyeret warga dan pengamat itu ke ranah pidana.

Masyarakat pun bisa jadi akan takut mengkritik wakilnya. Bila ketakutan warga sampai pada puncaknya, berarti kita akan kembali ke zaman `anti kritik'.

Bedanya, kali ini yang anti kritik adalah lembaga yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk mengkritisi pemerintah. (*)

Berita Terkini