TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, JAKARTA - Kalangan pengusaha Indonesia meminta penetapan ulang tahun hari buruh internasional atau 'may day' setiap tanggal 1 Mei ditetapkan menjadi hari libur nasional ditinjau ulang pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebab libur itu malahan menyebabkan turunnya produktivitas dan daya saing.
"Keputusan pemerintah menjadikan hari buruh jadi libur nasional sangat disayangkan. Urgensinya tidak ada. Maka patut untuk ditinjau ulang," ujar Wakil Ketua Kamar Dagang Inndonesia DKI Jakarta Sarman Simanjorang pada Kamis (1/5/2014) pagi.
Pemerintah, terang Sarman, seharusnya cukup mengeluarkan peraturan yang mewajibkan perusahaan melewati hari buruh ini dengan berbagai kegiatan internal, misalnya pelatihan sumber daya manusia, olahraga atau kesenian agar mampu merangsang peningkatan kualitas sang buruh, bukannya malah memberi libur.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia sang buruh, lanjut Sarman, sangat penting. Mengingat, Indonesia akan bersaing di ASEAN Economic Community atau pembukaan pasar bebas di kawasan Asia Tenggara yang direncanakan terjadi pada 2015.
Berdasarkan data World Economic Forum (WEF), daya saing dan produktivitas pekerja di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia berada di peringkat 50 dari 144 negara, di bawah Singapura (urutan dua), Malaysia (urutan 25), Brunei Darussalam (urutan 28) dan Thailand (urutan 38).
"Apalagi ini tahun politik, di mana hari libur bertambah tiga hari, yaitu Pileg, Pilpres dan hari buruh. Bisa dibayangkan kan, berapa besar kerugian yang harus ditanggung oleh perusahaan," ujarnya.
Namun, karena hari libur nasional adalah kebijakan pemerintah, kalangan pengusaha terpaksa melaksanakannya. Diharapkan, pemerintah mampu menilai efektivitas 'may day' ditetapkan jadi hari libur nasional. Jika memang tidak produktif dan menurunkan daya saing, pihaknya berharap SBY meninjau kebijakan tersebut.