Terinspirasi dari Sang Ibu, Yosepa Asal Sintang Pilih Jadi Penenun untuk Ikut Lestarikan Budaya

Harga tenun yang ia hasilkan bervariasi, tergantung ukuran dan jenis pewarna yang digunakan.

Penulis: Anggita Putri | Editor: Try Juliansyah
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/Anggita Putri
PENENUN ASAL SINTANG - Penenun muda asal Sintang Yosepa Hilaria Ujin, Dara Gawai saat berbincang dengan Wakil Ketua Harian Dekranasda Kalbar Windy Prihastari. 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK – Di tengah keramaian kunjungan Ketua Umum Ikatan Adhyaksa Dharmakarini (IAD), Sruningwati Burhanuddin, ke Gedung Dekranasda Kalbar, ada satu pemandangan yang menarik perhatian.

Seorang perempuan muda dengan rambut panjang tampak duduk tenang di tengah ruangan, fokus menenun benang demi benang menjadi selembar kain khas Kalimantan Barat.

Dialah Yosepa Hilaria Ujin, Dara Gawai Berbakat Provinsi Kalbar 2019 asal Kabupaten Sintang.

Ia baru saja menyelesaikan studinya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tanjungpura Pontianak tahun 2024, dan kini kembali ke kampung halamannya untuk menekuni kerajinan tenun ikat khas Sintang.

“Ini pertama kalinya saya diundang langsung oleh Dekranasda Kalbar lewat Ibu Windy Prihastari untuk tampil menenun di acara resmi seperti ini. Senang sekali karena ini bentuk dukungan nyata dari pemerintah,” ungkap Yosepa saat ditemui.

Yosepa bercerita, kecintaannya pada menenun dimulai sejak ia duduk di bangku kelas 6 SD. Ia belajar dari ibunya sendiri, mulai dari membuat syal, selendang, taplak meja, hingga akhirnya bisa membuat kain ukuran besar seperti kumbu (selimut).

“Saya ingin terjun jadi penenun karena ini adalah warisan budaya Dayak. Lewat menenun, saya tidak hanya melestarikan budaya, tapi juga bisa mandiri secara ekonomi,” tuturnya.

Kini, bersama keluarganya, Yosepa tinggal di Rumah Betang Ensait Panjang, Sintang. Di sana, ia memasarkan hasil tenunannya, yang tak jarang dibeli oleh pengunjung lokal maupun wisatawan mancanegara. Beberapa kain buatannya bahkan sudah sampai ke luar negeri.

Harga tenun yang ia hasilkan bervariasi, tergantung ukuran dan jenis pewarna yang digunakan.

Baca juga: Imigrasi Pontianak Apresiasi Antusias Masyarakat Manfaatkan Inovasi Layanan Keimigrasian

“Kalau syal mulai dari Rp50 ribu, selendang dari Rp250 ribu. Taplak meja tergantung motif dan warna. Kalau pakai pewarna alami, mulai dari Rp500 ribuan. Untuk kain kumbu dengan pewarna sintetis sekitar Rp1 juta, sedangkan yang memakai pewarna alami bisa sampai Rp2 jutaan,” jelasnya.

Meski aktif menenun, Yosepa mengaku belum sepenuhnya menguasai proses pembuatan motif dan pewarnaan alami karena selama ini masih fokus pada kuliah. Tapi setelah lulus, ia bertekad akan belajar lebih dalam.

“Saya ingin kembangkan lagi tenun ikat Sintang, belajar buat motif sendiri dan pewarnaan alami dari hasil alam kampung saya,” ujarnya penuh semangat.

Menariknya, di Rumah Betang tempat Yosepa tinggal, mulai banyak anak muda yang ikut menenun. Menurutnya, alasan mereka bukan cuma karena ingin menjaga budaya, tapi juga karena menenun bisa jadi sumber penghasilan tambahan.

“Sebenarnya menenun itu nggak sulit, asal sabar. Sekarang tinggal bagaimana kita anak muda mau serius atau tidak. Kalau saya, ini cara saya pulang dan ikut jaga warisan budaya,” tutupnya. (*)

- Baca Berita Terbaru Lainnya di GOOGLE NEWS
- Dapatkan Berita Viral Via Saluran WhatsApp

!!!Membaca Bagi Pikiran Seperti Olahraga Bagi Tubuh!!!

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved