Profil

PROFIL Siapakah Annisa Fitri Yusuf, Sosok Inisiator Pameran Internasional Art Borneo 2025

Bagaimana tidak, Annisa Fitri Yusuf inilah sosok inisiator pameran bergengsi di Kota Pontianak itu.

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID/Istimewa
ART BORNEO 2025 - Sosok Annisa Fitri Yusuf, seniman multidisiplin asal Pontianak yang aktif mengangkat isu perempuan, budaya lokal, dan lingkungan melalui seni. Ia merupakan Direktur Program ART BORNEO dan Art Manager Kolektif Emehdeyeh sekaligus inisiator pameran Art Borneo 2025. 

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK - Nama Annisa Fitri Yusuf menjadi viral di Kota Pontianak setelah suksesnya gelaran Pameran Internasional Art Borneo pada 20 hingga 28 Juni di Gedung Dekranasda Kalimantan Barat, Kota Pontianak.

Bagaimana tidak, Annisa Fitri Yusuf inilah sosok inisiator pameran bergengsi di Kota Pontianak itu.

Penasaran dengan sosoknya?

Annisa telah memiliki kedalaman terhadap seni sejak ia kecil.

Ia suka menulis, menggambar di pinggir buku, dan membuat puisi tentang hujan yang kelak menjadi awal perjalanannya mengenal seni.

Namun seiring waktu, ia menemukan bahwa seni bukan hanya soal ekspresi tetapi juga alat pencatatan, perlawanan dan penyembuhan.

“Saya suka menulis di buku harian, membuat puisi kecil tentang hujan, dan menggambar di pinggir buku pelajaran. Ketertarikan itu semakin tumbuh ketika saya mulai menyadari bahwa ekspresi seni bisa menjadi cara untuk menyampaikan perasaan yang sulit diungkapkan secara langsung terutama sebagai perempuan yang hidup dalam struktur sosial yang cukup kaku,” ujar Annisa saat ditemui, Jumat 4 Juli 2025.

Annisa Fitri Yusuf dan Suara Perempuan yang Dihidupkan Lewat Seni

Perempuan kelahiran Sentebang, 24 Januari 1999 ini menempuh pendidikan Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Sebelas Maret.

Baginya, dunia akademik membuka cara pandang baru dalam berkarya.

“Kuliah di Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia membuka cara pandang saya terhadap bahasa, narasi, dan representasi. Saya jadi lebih sadar bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga struktur kuasa. Perspektif ini saya bawa ke dalam karya seni saya, terutama saat bekerja dengan isu identitas, gender, dan budaya lokal,” katanya.

Annisa menyebut bahwa pengalaman kuliahnya membuatnya lebih peka dalam membaca teks dan konteks. 

“Ilmu tersebut sangat memperkuat landasan teoritis dalam proyek-proyek seni saya, yang seringkali menggabungkan pendekatan edukatif dan artistik secara bersamaan,” ucapnya.

“Salah satu tantangan terbesar adalah menghadapi budaya patriarki yang masih kuat baik secara sistemik maupun dalam praktik keseharian. Kadang suara perempuan dianggap tidak cukup penting, atau posisi kepemimpinan perempuan di bidang seni masih diragukan,” ujarnya.

Menurutnya tantangan lain juga terletak pada minimnya dukungan infrastruktur dan apresiasi terhadap seni berbasis perempuan atau yang mengangkat isu-isu kritis.

"Justru dari situ saya belajar untuk membangun jaringan, menciptakan ruang, dan memperjuangkan representasi perempuan dalam kepemimpinan seni," ujarnya.

Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved